Balada Kucing Tetangga (and Other Stories)

By David Pranata | Inspirasi

Sep 04

Ini adalah adalah kompilasi cerita tentang Titi, kucing tetangga yang sudah menjadi teman saya dan Gwen. Dan bagaimana dia merubah hidup kami.

Ini dia yang namanya Titi – kucing tetangga kami

Balada Kucing Tetangga Part #1

(ditulis tanggal 1 Juni 2021)

Kita punya tetangga yang pelihara kucing, namanya adalah Titi (ini nama kucingnya ya.. bukan nama tetangga pemiliknya). Berbeda dengan kucing – kucing lainnya yang kalau kita dekati sudah lari atau gak peduli dengan keberadaan kita, si Titi ini malah manja banget.

Titi dan tatapan genitnya

Kadang kalau kita pas keluar rumah, kita bakal elus – elus dia. Waktu saya dan Gwen jemur pagi di halaman depan, Titi akan datang dan nempel – nempel di kaki kita. Setelah itu gelundung – gelundung minta dielus – elus.

Gwen sampai belajar dari buku Why “Hewan Peliharaan”, bagian tubuh mana dari kucing yang dia sukai ketika disentuh. Kunci jawaban: punggung bagian belakang dekat ekor.

Tiap jemur pagi jadi kesempatan buat kita untuk ketemu Titi, begitu kita panggil “Puss… puss.. Titi”, tidak lama kemudian bakal terdengar suara klinting.. klinting dan dia pun muncul.

Layaknya sebuah relasi pada manusia, seiring jalannya waktu Titi ini tambah dekat dengan kita (dan tambah manja).

  • Dulu Titi bertamu sebatas di halaman depan saja, sama sekali tidak berani masuk rumah, pintu rumah seakan – akan jadi penghalang besar untuk dia. Sekarang tiap kali datang malah minta masuk, naik sofa dan putar – putar keliling rumah.
  • Kalau dulu datangnya musti dipanggil, sekarang bahkan jika dia lihat mobil saya sampai depan rumah, Titi akan langsung datang. Pasang pose telentang di depan jalan menuju garasi, minta dielus -elus dulu baru setelah itu minggir supaya mobil bisa masuk (Ampun deh.. saya sampai heran kucing lain apa ya manjanya seperti ini).
  • Dulu kalau pulang bertamu tinggal dibukakan pintu dan digiring ke luar, sekarang saya musti gendong karena kalau nggak Titi bisa nggak pulang – pulang. Nulis ini sambil menghela nafas deh..

Tapi seperti relasi lain, kita juga memberi batasan (boundaries). Kita nggak akan kasih makan Titi. Jam bertamu juga paling mentok 10 – 15 menit. Kalau sampai dikasih makan dan bertamunya sampai berjam – jam, bisa – bisa betulan nggak mau pulang atau menuntut ganti pemilik.

Jika sampai saat ini kasus pidana yang pernah terjadi adalah “Melarikan Istri Tetangga”, saya tidak ingin membuka lembaran baru dalam sejarah hukum Indonesia dengan mendapat tuntutan “Melarikan Kucing Tetangga”.

Mustinya tulisan ini akan berhenti di sini jika tidak karena kejadian yang terjadi kemarin sore. Ada suatu kejadian di mana kisah Balada Kucing Tetangga ini berlanjut. Karena si manja Titi ini, saya jadi ikut – ikutan update status WA foto kucing. Lihat fotonya sendiri di bawah post ini (dengan tatapan dia yang begitu genit).

Walhasil status WA ini mengundang salah seorang teman untuk berkomentar dan bertegur sapa. Dari sapaan standar “Bagaimana kabarnya?” saya jadi mengetahui jika dia barusan saja terdiagnosa menderita autoimun. Kondisi yang saat ini menyebabkan dia agak down.

Autoimun yang dia miliki gejala – gejalanya persis sama dengan yang dialami Niken beberapa tahun sebelumnya.

Dari yang awalnya bertegur sapa saya akhirnya bisa bercerita tentang apa yang dulu Niken lalui, jalur pengobatan apa yang dulu ditempuh sampai akhirnya Niken bisa terbebas dari semua gejala dan autoimunnya terkendali. Notes: dulu Niken menggunakan naturopati.

Di akhir, saya sharingkan juga semua resources berupa informasi dan nomor kontak alternatif penyembuhan yang ada. Plus hari ini saya kirimkan buku tentang autoimun (yang tebel buanget), saya kira lebih bermanfaat berada di tangannya daripada di rumah saya.

Saya tutup pembicaraan dengan berkata “Rasanya kita perlu berterima kasih pada Titi (dan tatapannya yang genit itu), tanpa dia kita nggak akan bisa connect kembali” Dan semoga apa yang saya bagikan bisa sesuai dan bermanfaat untuk membantu teman saya dalam melalui situasi yang saat ini dia alami.

Jadi… Titi oh Titi.. itulah sekilas cerita tentang dirimu. Suatu saat jika ceritamu sampai diangkat jadi sinetron, saya sudah punya judul yang pas, apa lagi kalau bukan “Balada Kucing Tetangga”

Balada Kucing Tetangga Part #2

(ditulis tanggal 25 Agustus 2022)

Tahun lalu, tepatnya bulan Juni 2021 saya menulis tentang Titi, kucing tetangga yang super manja. Setelah kenal selama satu tahun bagaimana perkembangannya?

Tambah manja. Sampai kita berikan dia julukan “Miong Manja” (kami panggil kucing dengan sebutan miong).

Tiap pagi sekarang dia datang bertamu di depan garasi sambil mengiong – ngiong minta ditemeni dan dielus – elus. Malahan pernah saat saya panggil anak “Gwenn… ayo cepetan turun ke bawah sudah jam berapa ini!”, yang terdengar malah suara “Miiaaauuuwww “dari balik garasi (yang menyahut Titi bukan Gwen).

Waktu kami pulang sekolah, juga selalu ada panitia penyambutan. Begitu mobil kami sampai depan rumah siap – siap buka garasi, akan ada suara klinting – klinting dan ada miong warna orange lari – lari ke arah kami.

Akhirnya aktivitas ini jadi ritual harian kami, tiap pagi biasanya jalan – jalan depan rumah sambil ditemani Titi. Siang pulang sekolah ada panita penyambutan. Sore nanti jalan – jalan lagi sambil elus – elus dan gendong.

Dan Titi kalau sudah digendong jatuhnya nggemblok (ini istilah bahasa Jawa gak nemu bahasa Indonya) ke saya, bisa dilihat di foto bawah posenya.

Kemarin sore kami dengar kabar mengejutkan, Titi ditabrak mobil dan meninggal. Kaget banget rasanya karena jam 2 siang dia masih jemput kami waktu pulang sekolah. Saya juga masih sempat gendong – gendong dia.

Tapi itulah yang disebut jalan hidup. Perjumpaan dan perpisahan, kita nggak pernah tahu kapan.

Tempat peristirahatan terakhir Titi

Dari Titi saya juga belajar banyak hal. Teman saya sempat berkomentar, “Sepeninggal Niken, dari Titi kamu belajar untuk kembali mencintai meskipun dari hal – hal yang sederhana (kucing tetangga)” Dan sekarang saya kembali belajar untuk melepas.

Kami juga belajar bahwa untuk bisa menyentuh hidup orang lain, kadang yang kita perlukan hanya “Ada” saja. Itulah yang Titi lakukan untuk hidup kami, keberadaan dia mewarnai hari – hari kami.

Jadi terima kasih Titi, miong paling manja sedunia, yang sudah menemani dan mewarnai hidup kami selama satu tahun lebih ini.

The Scar – Belajar Konsekuensi

Foto di bawah ini adalah tangan saya yang habis main – main dengan miong (kucing). Penuh cakar di sana – sini. Ya namanya juga main – main sama kucing. Kukunya tajam, pasti ada aja waktu di mana tangan saya ketangkep dan dicakar.

Waktu itu Gwen tanya “Sakit Daddy?” Jawab saya “Ya lumayan perih lah”

Gwen berkomentar “Wahh.. keliatannya sakit, Gwen nggak mau kalau sampai luka kaya begitu”. Jawab saya “Kalau begitu ya nggak usah main – main sama miong”

Di sini saya coba mengajarkan tentang konsekuensi. Sama kalau kita main air, ya bakal basah. Kalau main api ya bisa kebakar. Kalau main sama kucing, ya bisa saja kecakar. Tiap hal yang kita lakukan ada konsekuensinya.

Banyak orang mencoba menghindari bagian nggak enak atau yang tidak mereka sukai dari melakukan sesuatu. Misal:

  • Saya kepingin usaha sendiri, tapi gak mau kalau musti jualan
  • Saya kepingin cari pasangan hidup, tapi gak mau kalau sampai patah hati
  • Saya mau terima pasangan saya, tapi baiknya saja, jeleknya nggak

Banyak hal datang dalam satu paket, dan mengutip kata Pak Gobind, salah satu trainer idola saya, ini namanya SDSB (Suka Duka Sama Baiknya). Kita terlalu menghindari hal yang gak enak dan yang tidak kita suka.

Padahal sering dari hal yang tidak enak atau penderitaan kita mendapatkan makna dan pembelajaran.

Saya mau tutup tulisan pagi ini dengan satu penggalan lyric lagu “The Rose” dari Bette Midler yang juga mengilustrasikan hal yang sama.

It’s the heart, afraid of breaking, that never learns to dance
And the soul, afraid of dying, that never learns to live

Saya terjemahkan dengan interpretasi juga yaa..

Kalau Anda selalu takut patah hati, Anda nggak akan pernah belajar mencintai
Kalau Anda selalu takut akan kematian, Anda nggak akan pernah belajar untuk benar – benar hidup

Jadi sekarang Gwen bagaimana? Tetap main – main sama kucing? Ya iya donk.. (tinggal nunggu kapan nanti bakal kecakar 😁)

Follow

About the Author

Halo, Saya David Pranata seorang trainer dan writer. Harapan saya adalah blog ini mampu menbantu Anda mengkomunikasikan keinginan, kebutuhan dan perasaan dengan jelas dan percaya diri - "Speak & Express What Matter Most"