Baru-baru ini saya selesai membaca sebuah buku bisnis berjudul “The Everything Store: Jeff Bezos and the Age of Amazon”. Buku ini menceritakan perjalanan hidup dari Jeff Bezos, si pendiri dari situs e-commerce terbesar di dunia yaitu Amazon.com.
Sungguh suatu buku yang menarik, banyak hal yang menginspirasi dan bisa saya pelajari dari membaca kisah bagaimana Amazon pertama mulai berdiri, berkembang sampai akhirnya bisa menjadi situs e-commerce terbesar saat ini. Satu hal yang saya kagumi dari Jeff Bezos adalah kekuatan visinya. Yuk.. mari kita simak bersama-sama ceritanya
Awal mulanya Jeff Bezos bekerja pada sebuah perusahaan trading saham, dia adalah seorang teknisi/programmer yang bertugas untuk membuat algoritma-algoritma dalam strategi jual beli saham. Karena mendalami dunia IT inilah, dia sejak awal sudah terekspos dengan penemuan terbaru jaman itu yaitu….. internet.
Ketika terekspos dengan internet, Jeff memprediksi bahwa inilah The Next Big Things. Dia memiliki ide untuk membuat sebuah situs jual beli barang melalui internet. Akan tetapi dia menyadari bahwa jika dia menyampaikan idenya ini pada perusahaan tempat dia bekerja, mereka akan merealisasikannya dan dia tidak akan pernah menjadi pemiliknya.
Satu-satunya cara untuk menjadi pemilik adalah dia harus meninggalkan perusahaan tempat dia bekerja dan memulai sendiri. Sejak awal dia sudah memiliki visi bahwa toko online yang dia bangun akan menjual segala macam barang “The Everything Store”. Â Jadi akhirnya, dia tinggalkan perusahaan lamanya dan memulai bisnisnya sendiri yang akhirnya dia beri nama Amazon.com.
Walaupun visi awalnya adalah The Everything Store atau toko yang menjual segala sesuatu (haha.. istilah bahasa Indonesianya Toserba) akan tetapi dia menyadari bahwa untuk memulai lebih baik dari satu jenis barang dulu. Oleh karena itu, dengan banyak pertimbangan, dipilihlah buku untuk memulai. Pertimbangannya adalah karena buku adalah jenis barang yang seragam, dijual dimanapun bentuk nya juga sama (menghindari kekuatiran customer pada awal era belanja via internet) dan waktu itu hanya ada 2 distributor besar buku. Sehingga untuk urusan pembelian barang tidak akan terlalu rumit karena hanya cukup berkonsentrasi pada dua supplier tersebut.
Ketika bisnis mulai berkembang, apakah Amazon menyimpan profitnya? Jawabannya adalah tidak. Mereka menggunakannya untuk terus menerus mengembangkan kategori produknya. Setelah buku, mereka berekspansi ke CD dan DVD musik, ke mainanan anak, elektronik dst. Hasilnya pada tahun-tahun awal Amazon tidak pernah mencetak keutungan sama sekali, selalu rugi melulu. Anehnya adalah investor tetap berdatangan menanamkan dananya di Amazon. Jeff Bezos melakukan hal ini karena dia tetap setia dengan visi awalnya yaitu The Everything Store.
Jeff juga tidak henti-hentinnya menekankan bahwa koleksi yang ada di Amazon.com harus sekomplit-komplitnya. Mereka harus memiliki koleksi barang yang paling lengkap, menjual setiap jenis produk yang ada. Jadi bisa anda bayangkan sendiri, untuk memenuhi keinginan si Jeff Bezos gudang sebesar apa yang Amazon harus miliki? Ingin tahu gambarannya? Ini saya sertakan fotonya deh…
Apakah ada kompetisi waktu itu? Tentu saja ada, perusahaan-perusahaan besar lain, seperti Barnes and Noble dan Toys R Us, mulai menyadari signifikannya internet dalam merubah cara berbisnis. Merekapun mulai ikut terjun ke dunia e-commerce. Hanya saja ada satu kejadian menarik yang menggambarkan keunggulan Amazon dibanding mereka. Berikut kisahnya:
Pada libur Natal dan tahun baru seperti biasa, jumlah pesanan melonjak tajam. Bagi para pemain baru di dunia online, mereka benar-benar kewalahan dan tidak siap mengantisipasi hal ini terutama dalam hal pengepakan dan pengiriman. Hasilnya adalah banyak kiriman yang terlambat dan tidak terkirim sebelum Natal dan tahun baru, sehingga mereka menuai komplain besar dari customer. Sedang Amazon sendiri memiliki program Save the Santa, di mana untuk mengantisipasi hal ini semua karyawan akan terjun membantu pengepakan dan pengiriman, sampai mereka akan tidur di kantor selama 2 minggu sama sekali tidak pulang ke rumah demi semua barang terkirim tepat waktu.
Hal lain yang saya kagumi dari Jeff Bezos adalah bagaimana dia meluncurkan Kindle, ebook reader dari Amazon. Awal peluncuran ini sebetulnya dimulai dari sebuah bencana, dimana market share Amazon dalam bidang CD dan musik tergerus karena Apple merevolusi dunia musik dengan iTunes nya. iTunes adalah sebuah market di mana customer bisa membeli musik dalam format digital (mp3).
Melihat fenomena ini, Bezos pun menyadari bahwa masa depan akan terletak pada era digital. Produk-produk digital akan mulai menggantikan produk fisik. Perhatian Bezos terpaku dengan bisnis yang merupakan kekuatan utama Amazon yaitu buku. Bezos ingin melakukan seperti yang Apple lakukan, yaitu dengan merevolusi cara orang membaca buku.
Sebetulnya saat itu sudah ada beberapa produk ebook reader yang beredar (salah satunya diluncurkan oleh Sony), akan tetapi tidak berhasil karena terbatasnya jumlah buku digital (ebook) yang ada dan teknologi ebook reader sendiri yang waktu itu masih kurang sempurna.
Untuk merealisasikannya, Amazon meluncurkan sebuah proyek rahasia (code name: Fiona) dengan membangun sebuah lab yang diberi nama lab 126 (berasal dari huruf pertama alfabet A dan huruf terakhir/26 alfabet Z). Tujuan proyek ini adalah: mematikan bisnis utama (penjualan buku fisik) dari Amazon itu sendiri. Kata Bezos waktu itu “Buatlah bisnis berjualan buku kita ini sendiri bangkrut karena semua orang beralih membaca buku dalam format digital.”
Untuk mengantisipasi kegagalan yang telah dialami pendahulunya, Bezos bersikeras bahwa pada peluncuran Kindle nantinya, harus sudah ada 100,000 judul ebook yang siap dijual. Semua buku best seller dan terbaru juga harus ada format digitalnya. Jadi bisa dibayangkan betapa karyawan Amazon pontang-panting meyakinkan penerbit untuk membuat versi digital dari buku mereka, padahal beberapa tahun yang lalu mereka masih trauma dengan kegagalan bisnis serupa.
Jadi apa yang terjadi ketika akhirnya Amazon Kindle resmi diluncurkan?
Penjualan meledak sampai barang ludes dan benar-benar tidak ada stock di gudang sampai beberapa minggu. Customer harus menunggu pabrikan untuk memproduksi Kindle ini kembali. Bezos sendiri sampai terheran-heran dan berkata “Padahal ketika memperkirakan jumlah persediaan awal yang harus kita buat, banyak orang mengingatkan kita bahwa kita ini terlalu optimis bisa menjual sekian banyak”
Dan akhirnya sampai sekarang Amazon Kindle menjadi ebook reader terlaris dengan koleksi ebook nya yang benar-benar komplit. Saya sendiri memiliki satu yang selalu saya bawa ke mana-mana untuk menemani saya.
Hanya saja sayangnya produk-produk e-reader ini sudah ditemukan di Indonesia, tidak seperti tablet yang membanjir di mana-mana. Apa sebabnya? bisa jadi banyak sebab yang mungkin tidak saya ketahui. Akan tetapi satu sebab yang sangat mungkin adalah fenomena berikut: Saya sering bertanya kepada mahasiswa di kelas saya (sekitar 50 orang jumlahnya), “Siapa di sini yang suka membaca?”. Hasilnya…. paling hanya ada dua atau tiga mahasiswa yang angkat tangan.
Di akhir kata, itulah hal yang saya pelajari dari seorang Jeff Bezos, bagaimana dia adalah seorang visioner sejati. Dari awal dia sudah membayangkan bahwa Amazon adalah The Everything Store. Dia tidak akan berhenti dan melakukan apa saja untuk mewujudkan visinya tersebut.
Dia juga seseorang yang tidak terlena akan perubahan, dia siap menjadi inisiator perubahan itu sendiri. Dia rela membunuh bisnis utamanya (penjualan buku fisik) demi menyiapkan diri menyongsong apa yang ada di masa depan (era digital).
Semoga kisah di atas menginspirasi anda juga. Cheers!