Selama bulan Januari 2024 saya mengikuti gerakan 30 hari bercerita, tujuannya biar tambah rajin lagi nulis. Nah, berikut adalah kompilasi beberapa tulisan saya di Januari ini. Enjoy!
David Pranata. Trainer & Writer.
Begitulah nama profesi yang tertera di kartu nama, website dan slide presentasi yang saya gunakan. Dan di awal sesi pelatihan, saya akan memperkenalkan diri bahwa sebagai penulis saya biasa menulis di blog pribadi dan saya sudah menerbitkan dua buku.
Hanya kenyataan berbicara lain.
Saya sudah lama tidak menulis. Buku saya terakhir diterbitkan tahun 2016 (gak kerasa udah 8 tahun yg lalu). Artikel blog saya terakhir tertanggal di 23 Mei 2023. Menulis di social media juga jarang saya lakukan.
Jadi tampaknya nama profesi “penulis” masih sekedar jadi pajangan saja.
Kalau mau dicari sebabnya kenapa bisa off sekian lama tidak menulis, saya bisa sebutkan 1001 alasan. Alasan versi singkatnya adalah kurang komitmen alias males.
Oleh karena itu saat istri cerita bahwa dia barusan gabung tantangan 30 hari bercerita, saya langsung tertarik. Wahh.. boleh nih, buat bikin semangat dan komitmen baru untuk menulis. Pas juga momennya di tahun baru, cocok sebagai wujud resolusi.
Setelah itu baru saya kepikir.. “Bagaimana ya membuat resolusi metulis atau bercerita ini bisa menjadi sesuatu yang permanen?” (bukan seperti resolusi – resolusi saya sebelumnya yang biasanya kandas bahkan sebelum Januari berakhir🙂)
Jawaban dari pertanyaan di atas akhirnya saya temukan dari tulisan saya sendiri yang terdahulu (yang waktu masih rajin nulis). Jawabannya adalah “Miliki sikap seorang professional”. Quote dari Julius Erving berikut pas sekali untuk menggambarkan
“Being a professional is doing the things you have to do, on the days you don’t feel like doing them.”
Artinya kurang lebih adalah.. menjadi seorang professional adalah tetap melakukan hal yang harus Anda lakukan, bahkan di hari – hari di mana Anda tidak suka melakukannya. Atau bisa dirangkum dalam satu kalimat judul lagu dari band rock Queen yaitu “Show Must Go On”.
Memiliki sikap professional artinya tidak mengenal yang namanya mood. Mau itu sedang sedih, marah atau ada masalah maka kita tetap melakukan apa yang perlu kita lakukan (and deliver result).
So I am writer.
Dan apa yang dilakukan oleh penulis? Ya menulis. Inilah yang sekarang saya lakukan.
Begitulah tulisan yang akan muncul ketika saya berhasil mengalahkan boss di game yang saya mainkan. FYI saya itu suka main game yang genre nya soulsborne (alias yang tingkat kesulitannya susah banget sampe bikin banyak orang frustasi).
Sebelum mengenal jenis game ini, saya nggak tertarik untuk mencoba. “Ngapain main game kaya gitu?” pikir saya. Main game kan mustinya buat santai – santai, kok malah mau bikin stress diri sendiri. Tapi setelah mencoba satu, akhirnya saya malah ketagihan main game – game genre ini.
Seni main game genre ini justru dari kegagalan itu sendiri. Kita akan mati dan gagal berkali – kali.
Mati. Coba lagi. Mati lagi. Coba lagi. Mati lagi. Terus – terusan.
Tapi dari tiap kegagalan itu kita akan belajar. Tingkatin skill. Putar otak. Cari jalan lain. Cari referensi. Sampai di satu titik bisa berhasil.
Dan ketika akhirnya berhasil mengalahkan bossnya dan melihat tulisan “Prey Slaughtered”, rasa kepuasannya itu bukan main. Rintangan yang di awal mula terasa mustahil akhirnya berhasil dilalui. Kok bisa begitu? karena kita berhasil mengembangkan diri sampai menjadi lebih besar dari masalah yang dihadapi.
Dari game jenis inilah saya belajar sikap mental dalam menghadapi hidup. Untuk bisa belajar dari kesalahan dan kegagalan. Kegagalan menjadi bagian dari proses. Kita melihat kegagalan sebagai teman untuk berkembang, bukan sesuatu yang harus mati – matian dihindari.
Saat ini bisa dikatakan kita hidup di jaman yang berkelimpahan, bahkan saat ini lebih banyak yang meninggal dunia karena obesitas dibanding karena kelaparan. Satu hal yang saat ini kondisinya berkelimpahan adalah jenis hiburan yang tersedia. Berikut adalah sekelumit cerita tentang perbandingan antara kondisi masa kecil saya dan kondisi sekarang.
Saya menjalani masa kecil dan remaja di era tahun 80 dan 90an… salah satu hobby saya adalah membaca. Beberapa buku bacaan favorit saya adalah Seri Trio Detektif, Lima Sekawan dan novel karya Agatha Christie. Kendala saya waktu itu adalah susah mencari buku bacaan. Toko buku di kota saya terbatas. Buku di perpustakaan sekolah sampai habis saya baca semua.
Demikian juga film atau acara televisi, satu – satunya sumber kami adalah TVRI. Tiap sore jam 3.30 kita sudah siap di depan televisi karena itulah satu – satunya saat film anak diputar. Dulu kadang kami masih bisa sewa film untuk diputar di video VHS, akan tetapi itu pun terbatas. Sering kali satu film kita sewa dan tonton berulang kali karena memang tidak ada lagi yang bisa ditonton.
Waktu kecil saya juga punya Nintendo, akan tetapi kaset gamenya juga tidak banyak. Kalau mau beli kaset musti ke kota besar, itupun jarang sekali karena harga kaset baru juga cukup mahal. Jadi sering game yang sama walaupun sudah tamat saya mainkan berulang kali sampai hafal.
Sekarang jaman sudah berubah.
Buku tersedia melimpah ruah.. di rumah saya sampai ada seperti perpustakaan mini. Yang ketika tiap kali saya pandangi, saya yakin seyakinnya bahwa tidak akan mungkin saya bisa membaca dan menyelesaikan semua buku yang saya miliki.
Hal yang sama juga terjadi dengan film. Saat ini saya memiliki langganan ke netflix, disney hotstar dan amazon prime dengan sekian banyak film yang menarik perhatian saya. Benar – benar berkelimpahan.. sudah pasti saya tidak akan bisa menonton semuanya itu. Belum lagi ditambah video – video yang ada di youtube.
Demikian juga dengan game. Dengan berlangganan PC Game Pass yang sebulannya cuma bayar Rp 50rb, saya sudah bisa dapat ratusan game yang bisa dimainkan. Dulu harga satu kaset nintendo saya uang segitu nggak akan dapet.
Akan tetapi di balik serba tersedia secara berkelimpahannya sumber – sumber hiburan itu.. ada hal yang sekarang jadi langka buat saya untuk bisa menikmati semua jenis hiburan itu. Apa hal tersebut ? Waktu dan fokus.
Nggak banyak waktu yang tersedia untuk menikmati semuanya itu.
Demikin juga fokus, sering karena banyaknya pilihan saya malah bingung sendiri, mana yang harus pilih.
Jadi teman – teman.. saat ini memang kita hidup di jaman yang serba berkelimpahan, akan tetapi ada hal lain yang menjadi lebih langka. Waktu dan fokus. Jagalah kedua hal tersebut, itulah aset kita yang sebenarnya di saat ini.
Hari ini saya diajak untuk menemani Rani, istri saya, untuk ikut latihan koor (paduan suara), sesuatu yang bagi saya merupakan momok besar sejak dahulu. Saya masih ingat betul saat duduk di bangku SD, pelajaran seni musik adalah sesuatu yang paling saya hindari.
Saya paling tidak bisa jika disuruh baca not, bisa dikatakan saya ini orang yang buta nada. Angka – angka 1 2 3 .. (do re mi …) seakan – akan tidak ada artinya bagi saya, yang bisa saya baca hanyalah lirik lagunya saja.
Nah.. singkat cerita akhirnya datanglah saya ke tempat latihan koornya.
Pak pelatih koor, begitu melihat saya yang merupakan anggota baru langsung berkata “Wahh.. selamat datang dan bergabung Pak! Ngomong – ngomong bapak biasanya suara tenor atau bass?”
“Eeeeee…. saya nggak tahu Pak” hanya itu yang bisa saya jawab.
“Oohh.. nggak papa, kalau begitu kita coba analisa dan identifikasi dulu” kata Pak Pelatih. Coba Bapak maju ke depan, terus ikuti saya. Setelah itu Pak Pelatih mulai mendendangkan nada sambil bermain keyboard “Do re mi fa sol la si do… Do si la sol fa mi re do”. Nah, coba sekarang bapak tirukan!
Dengan segenap daya dan kemampuan saya pun mulai berdendang “Do re mi fa sol la si do… Do si la sol fa mi re do”
Setelah itu Pak Pelatih pun menyampaikan hasil analisa nya “Eeee… nanti Bapak yang penting ikutin saja yang lain bernyanyi ya.. tapi nyanyinya pelan – pelan saja, tidak usah keras – keras. Atau kalau di awal – awal mau lip synch dulu juga tidak apa – apa”
Saya pun lanjut menjawab “Terima kasih Pak.. dari awal saya memang sudah berencana mau lip synch saja” yang langsung disambut gelak tawa dari semua yang hadir di situ.
Jadinya di akhir saya tahu jenis suara saya. Bukannya sopran, alto, tenor atau bass. Jenis suara saya adalah suara penggembira. Yang cukup hadir di situ, nyanyi (yang penting pelan – pelan aja) sambil tersenyum. Yang penting adalah kehadiran saya menemani Rani.
Teman – teman… dalam hidup kita tidak selalu harus berperan sebagai tokoh utama, kadang kita cukup berperan sebagai penggembira. Yang penting adalah Anda hadir. Berada di situ. Dan itu sudah cukup.
Hari ini saya dan Rani mengambil raport nya Gwen dan Fara. Sungguh lega rasanya ketika mendengar Bu Guru berkata “Oh yaa Bapak & Ibu, nilai – nilainya ini bagus – bagus kok, rata – rata dapat A dan B. Kemampuan bergaul, percaya diri dan sikap nya juga baik.”
Bu Guru pun lanjut menambahkan “Secara keseluruhan anaknya ok.. hanya saja ini Pak & Bu, kalau bisa ijin gak masuk sekolah nya jangan banyak – banyak” sambil menunjukkan total hari absen tidak masuk sekolah karena ijin yaitu… 12 hari😄 Yup betul mereka ijin nggak masuk sekolah hampir 2 minggu dalam satu semester.
Karyawan perusahaan saja dapat cuti 12 hari itu dalam setahun.. sedang anak kita jumlah segitu sudah habis dalam 1 semester.
La kok bisa ijin tidak masuk sekolahnya sampai sebanyak itu?
Begini ceritanya.. berhubung pekerjaan saya sebagai trainer (yang sebagian besar sesi trainingnya di luar kota), maka sering kali saya merasa tergoda. Tiap kali dapat kontrak training yang sekiranya cocok untuk membawa anak – anak (misal: di kota besar atau kota tujuan wisata, dapat kamar hotel), maka saya biasanya akan membawa dan melibatkan Gwen & Fara.
Anggap saja ini sebagai liburan yang dibayarin oleh klien.
Tapi saat mengajak mereka biasanya saya beri syarat.
Syarat pertama adalah mereka harus ikut terlibat di training alias ikut kerja.
Biasanya saya minta mereka untuk menjadi sample speaker. Jadi mereka akan tampil ke depan di hadapan peserta dan mendemokan praktek presentasi. Hal ini justru menjadi nilai plus di mata peserta. Mereka melihat sendiri bahwa materi yang diterima sebenarnya mudah dipraktekkan (anak kelas 3 dan 4 SD bisa menerapkannya). Mereka jadi tambah yakin kalau mereka seharusnya bisa (hahaha…plus sekaligus tertekan kalau sampai gak bisa)
Â
Bagi anak – anak sendiri ini menjadi tempat untuk mengasah keberanian dan rasa percaya diri mereka. Mereka tidak lagi canggung atau minder ketika harus tampil di depan, bahkan di depan peserta yang usianya jauh di atas mereka.
Syarat kedua adalah mereka musti bisa mengejar ketinggalan pelajaran sekolah dan nilai tetap baik.
Kita selalu briefing anak – anak kalau nilai pelajaran harus tetap ok. Supaya apa? “Supaya lain kali ketika Daddy atau Mama mau ijinin kalian ikut ke luar kota lagi dibolehin sama Bu Guru😄 kalau nilai kalian jelek ntar susah kita ijin nya.”
Berlibur sambil bekerja inilah satu hal yang saya sebut dengan work-oliday. Bagi saya dan Rani sendiri inilah kesempatan untuk memaksimalkan momen – momen kita bersama dengan anak – anak. Saya yakin mereka juga belajar banyak dari pengalaman dan eksplorasi di tempat baru dan terlibat saat kita bekerja.
Jadi ketika Bu Guru berkata “Kalau bisa nanti ijin tidak masuk sekolahnya dikurangi”, kami tersenyum dan menjawab “Iya Bu.. akan kita usahakan” (sambil di dalam hati memikirkan kapan nanti jadwal ijin ke luar kota yang berikutnya)😄
Jadi itulah beberapa kumpulan kompilasi ceritanya.. monggo ditunggu yang kompilasi berikutnya ya!