Ingatan saya kembali ke pertengahan tahun 2002, waktu saya dan teman-teman memakai toga berwarna hitam, membawa ijazah tanda kelulusan sambil berteriak “Merdeka”. Setelah ini tidak akan lagi ada PR, tidak perlu lagi membaca buku-buku pelajaran yang tebal dan tidak perlu lagi terkantuk-kantuk sambil mendengarkan dosen di kelas. Dengan membayangkannya saja, saya sudah merasa gembira sekali.
Setelah itu yang harus saya lakukan adalah mencari pekerjaan, bekerja yang rajin, datang tepat waktu dan pulang agak lembur sedikit. Tunggu sekian bulan atau tahun, dipromosikan, naik jabatan dan kaya. Rencana yang sempurna.. hanya saja tidak pernah terjadi (tepatnya bekerja rajin, datang tepat waktu dan pulang lembur nya memang terjadi, tetapi naik jabatan dan kayanya tidak 😛
Waktu itu saya tidak pernah benar-benar mengembangkan diri, pulang kerja pun waktu saya habiskan untuk ngobrol dan pergi dengan teman. Bahkan seringkali dengan sengaja saya pilih warung jagung bakar yang letaknya jauuuh sekali (karena murah dan bisa habiskan waktu karena perjalanannya yang lama).
Kadang memang dibutuhkan rasa sakit untuk menyadarkan kita. Setelah sekian tahun berlalu tanpa perubahan yang berarti, saya mulai berpikir dan menyadari saya harus berubah jika ingin maju. Saya mulai membaca lagi buku, waktu itu buku pertama yang saya sentuh adalah Tipping Point dari Malcolm Gladwell.
Saya juga bergabung di Toastmasters untuk pengembangan diri dan belajar mengenai komunikasi. Dua hal itulah yang kemudian membuat perubahan drastis dalam hidup saya. Saya bisa menjalani profesi saya sekarang ini semuanya diawali dari keputusan untuk tetap belajar dan berkembang.
Di jaman sekarang ini, di mana entertainment tersedia sangat luas dan beragam, belajar dan mengembangkan diri menjadi pilihan yang terlihat tidak cool sama sekali. Membaca buku non fiksi? Pergi ke seminar atau kuliah? Mendengarkan audio book? rasanya membaca komik, pergi ke mall atau mendengarkan K-pop jaauuuhh lebih menarik.
Kadang jengkel juga melihat fenomena ini, terutama jika anda seorang pengajar dan musti mengajar murid yang terlihat ogah-ogahan. Ingin rasanya menyalahkan mereka, menyalahkan perkembangan jaman. Tapi saya menyadari, ini berarti tantangan baru bagi kita untuk terus belajar lagi. Belajar bagaimana menyampaikan sesuatu dengan lebih menarik dan menyenangkan. Oleh karena itu saya terus menerus belajar storytelling dan humor. Menurut saya belajar seharusnya juga bisa menjadi sumber entertainment.
Saya akan tutup artikel kali ini dengan sebuah cerita mengenai orang tua saya. Setelah papi pensiun bekerja, mami dan papi membuka usaha pesanan kue dan roti. Dalam hal ini papi berperan sebagai bagian pengepakan dan pengiriman (haha… karena jika di bagian buat roti, papi sering dimarahin mami karena ukurannya besar kecil).
Bulan lalu secara mendadak papi dipanggil Tuhan. Waktu itu saya dan adik-adik saya juga bingung, “Setelah ini bagaimana dengan mami. Apakah dia bisa hidup sendirian di Kudus? Jikalau pun jawabannya ya, siapakah nanti yang bakal mengirim roti dan kue pesanan?”
Ketika semua prosesi kremasi sudah usai, saya pun bertanya kepada mami, “Mi, apa rencana mami setelah ini?” Anda bisa bayangkan betapa bangga dan terharunya saya ketika mami menjawab “Mami ingin belajar menyetir mobil”
Dalam usianya yang sudah mencapai 57 tahun, mami tetap belajar. Learning never ends. Semoga artikel ini menginspirasi anda untuk tetap belajar dan mengembangkan diri.
“Live as if you were to die tomorrow, learn as if you were to live forever” – Mahatma Gandhi –