Our Story adalah rangkaian artikel blog yang menceritakan kisah saya dan Niken, mendiang istri saya. Bagian ketujuh ini akan menceritakan tentang hari – hari terakhir kami berada di Bandung.
Artikel ini termasuk rangkaian kisah “Our Story” yang sangat saya sarankan Anda baca secara berurutan mulai dari bagian pertama. Untuk melihat seluruh daftar rangkaian kisah Our Story yang ada silahkan klik link berikut ini.
Persis di tanggal 17 Agustus 2020, saya membawa Niken ke RS Santo Borromeus, tempat kita juga opname sebelum – sebelumnya. Di sana kami kembali ditangani oleh Dr. Indra dan Dr. Budianto, yang sebelumnya sempat menangani Niken. Diagnosa awal menunjukkan kondisi yang mirip terjadi pada opname sebelumnya yaitu kadar Hb dan Natrium yang rendah.
Berita baiknya adalah pada paru – paru tidak lagi terjadi penumpukan cairan. Berarti pleurodesis alami benar – benar telah terjadi dan berhasil membuat cairan tidak lagi bisa mengisi selaput pleura.
Untuk mengetahui kondisi dan tingkat penyebaran sel kanker terkini, maka Dr. Indra menyarankan kami melakukan CT scan thorax. Saat hasil CT Scan dibacakan, saya hanya bisa terdiam sambil mendengar kondisi penyebaran terkini. Secara umum, sel kanker yang berada pada tubuh Niken telah mengalami penyebaran yang cukup luas.
Tumor ekstensif tampak berada di dada kanan, dada kiri sampai dengan kelenjar getah bening yang ada di sekitarnya. Hal ini menyebabkan pada tulang rusuk kelima ditemukan fracture karena tertekan sel kanker yang terus berkembang. Selain itu ditemukan juga sel kanker metastasis pada selaput jantung dan hati. Sedang untuk kepastian apakah terjadi brain metastasis atau tidak musti dilakukan MRI kepala, sesuatu yang menurut saya tidak perlu dahulu dilakukan saat itu.
Saat berada di rumah sakit, kondisi Niken juga mengalami penurunan. Kakinya mulai terasa dingin dan mengalami pembengkakan sehingga dia tidak lagi kuat untuk berdiri. Di hari ketiga kembali terjadi bleeding / perdarahan pada luka di dada kanan Niken, hanya kali ini perdarahan yang terjadi cukup intens sehingga membutuhkan keahlian dari para perawat dan obat khusus untuk bisa menghentikannya.
Dokter Indra mengatakan bahwa terjadinya bleeding merupakan satu kondisi serius karena hal tersebut berarti sel kanker sudah mulai mendekati saluran pembuluh darah besar. Satu – satunya cara mengatasi hal ini adalah dengan radiasi.
Saat itu saya merespon dengan bertanya “Dok, keadaan Niken sudah sedemikian lemah, apakah kondisi fisiknya memungkinkan untuk melakukan radiasi?” (mengingat itu berarti kita juga harus pindah RS karena di Borromeus tidak ada terapi radiasi kanker)
Saya juga lanjut bertanya kepada Dokter Indra “Dok.. saya tahu ini pertanyaan yang sulit, bahkan bagi saya untuk mengetahui jawabannya, akan tetapi akan tetap saya tanyakan… Dokter, berapa lama waktu yang Niken miliki?’
Saat itu Dokter Indra menjawab “Kurang dari 1 bulan Pak”
Hanya saja menurut perkiraan saya, kami tidak memiliki waktu sepanjang itu.
Kanker bukanlah seperti penyakit jantung. Seseorang yang memiliki penyakit jantung bisa saja beraktivitas normal (bahkan olahraga intens seperti main tennis atau berlari) di pagi hari dan terkena serangan jantung hingga meninggal di siang / sore harinya. Kejadiannya bisa mendadak dan tidak disangka.
Kanker berlangsung perlahan dan memiliki tanda – tanda. Melihat gejala dan pertanda baru yang dimiliki Niken dalam beberapa hari terakhir, saya kemudian aktif mencari baik di artikel / jurnal internet tentang pertanda seorang penderita kanker yang memasuki fase – fase akhir dalam hidupnya.
Berikut adalah tanda – tanda yang saya temukan dari hasil pencarian: keinginan makan dan minum yang semakin berkurang, kaki dan tangan menjadi dingin, rahang bawah dan mata tidak mengatup sempurna, nafas menjadi berat, bibir kering, berkurangnya respon baik secara visual maupun verbal.
Dan hampir semua tanda – tanda tersebut saya jumpai pada Niken.
Jika saya lanjutkan Niken untuk dirawat / opname di rumah sakit, saya yakin dia akan tutup usia di rumah sakit. Tanpa pernah bisa bertemu lagi dengan Gwen, anak yang sudah 6 bulan tidak pernah berjumpa langsung. Ibu mana yang tidak ingin berjumpa untuk terakhir kali dengan anaknya. Anak yang sudah terpisah selama 6 bulan. Walaupun perjumpaan itu hanya sekejab mata, untuk berkata Goodbye.
Di saat itu saya memutuskan untuk membawa Niken kembali ke Surabaya. Tujuannya hanya satu – untuk bisa bertemu dengan Gwen. Hanya masalahnya adalah… ada jarak lebih dari 750km terbentang di antara kita.
Saya pun berkonsultasi dengan Dokter Indra tentang rencana ini. Saya berkata “Dokter, saya akan bawa Niken balik ke Surabaya pakai ambulance. Jadi tujuan opname sekarang adalah untuk mempersiapkan kondisi Niken supaya kuat menempuh perjalanan jauh ini. Saat nanti kondisinya sudah membaik dan lebih ok, kita akan langsung jalan”
Dokter Indra merespon “Pak.. kondisi Ibu tidak akan membaik. Lebih baik Bapak tentukan tanggal-nya, nanti kita di sini yang akan kejarkan supaya kondisi Ibu siap di tanggal tersebut”
“Ok Dokter.. kalau begitu kita akan balik hari Rabu”
Jika Anda bertanya mengapa saya bisa langsung menjawab hari Rabu, maka saya juga tidak tahu. Saat itu rasanya badan saya mengerti dan menjawab dengan yakin… “Rabu”. Saat percakapan ini terjadi itu adalah hari Sabtu sore, artinya kita punya waktu 3 hari untuk bersiap.
Keesokan harinya saya menginformasikan kepada Niken tentang rencana ini “Ken.. hari Rabu kita akan balik ke Surabaya, kita akan pakai ambulance rumah sakit untuk perjalanan pulang”
Di awal Niken sempat protes, dia berkata “Kamu kok nggak info aku dulu.. setelah keluar dari RS aku masih mau balik ke HanaRa, ketemu teman – teman, perbaikin kondisi sebentar setelah itu baru balik”
Saat itu saya menjawab “Ken.. dengan kondisimu sekarang ini, nggak akan memungkinkan untuk kita bisa balik ke HanaRa. Kita balik ke Surabaya ya, di sana kamu akan lebih bisa rileks dan istirahat.”
Niken merespon dengan “Oohh.. begitu ya. Jadi Rabu ya..”
“Iya Ken.. Rabu. Sekarang kamu siapkan kondisi ya, supaya Rabu nanti bisa fit dan tenaganya kuat untuk balik.”
“Vid… kita akhirnya akan ketemu Gwen lagi”
Hari itu kondisi Niken juga mulai benar – benar dipersiapkan. Tambahan 2 kantong darah lagi datang untuk ditransfusikan. Cairan natrium untuk meningkatkan kondisi juga terus diberikan. Saat waktu luang kita gunakan untuk berlatih ilmu HanaRa yang sudah kita pelajari. Dan tidak ketinggalan, kita berdua senantiasa berdoa untuk yang terbaik.
Nafas Niken dari hari demi hari semakin bertambah berat. Tiap malam sebelum tidur saya selalu berdoa bahwa besok kami masih diberi kesempatan untuk bertemu. Saat bangun pagi, yang pertama saya lakukan adalah melihat Niken. Mengucap syukur bahwa hari itu saya masih diberi kesempatan untuk bersama dia kembali.
Hari ini bisa dikatakan kondisi Niken relatif stabil dan baik. Saya menggunakan kesempatan ini untuk mempersiapkan segala rencana kepulangan ke Surabaya. Pagi hari saya sudah pergi ke HanaRa untuk berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada Bu Jenn (istri Dokter Hanson) atas segala sesuatu yang telah kami terima selama 6 bulan di Bandung.
Saya juga dibantu Pak Mirza, teman seperjuangan yang juga mendampingi istrinya di HanaRa, untuk mengirimkan semua barang – barang kami via cargo ke Surabaya. Selain itu tidak lupa saya juga mengkontak keluarga di Surabaya menginformasikan rencana kepulangan kami beserta tujuannya. Plus saya juga meminta tolong untuk mempersiapkan barang – barang yang dibutuhkan nanti, mulai dari ranjang rumah sakit sampai dengan tabung oksigen.
Saat itu saya hanya berpesan satu hal kepada mereka.. Tolong Gwen jangan diberi tahu dahulu rencana kepulangan kami. Selain saya ingin membuatnya sebagai kejutan, dalam hati kecil saya juga mengantisipasi siapa tahu kami tidak berhasil merealisasikan rencana ini.
Di hari ini saya benar – benar bersyukur untuk tiap – tiap momen yang bisa saya lewatkan bersama dengan Niken. Saat – saat kami makan bersama menjadi sangat spesial. Walaupun makanan kami sederhana, akan tetapi bisa bersama menikmatinya benar – benar menjadi hadiah yang berharga.
Di pagi hari ini kondisi Niken tidak terlalu baik. Malam sebelumnya Niken mengalami kesulitan tidur sehingga menjelang subuh sempat meminta obat tidur. Kesadarannya mulai sedikit turun (salah satunya juga karena pengaruh obat tidur).
Saat proses ganti perban juga terjadi bleeding yang cukup intens, untungnya berkat kesigapan para perawat bisa ditangani dengan cepat. Saya juga langsung belajar dari mereka prosedur dan tekniknya supaya jika nanti terjadi saat berada di Surabaya saya sudah siap.
Jika saat itu hari kepulangan kami ke Surabaya adalah Selasa, bisa jadi kami tidak berangkat melihat kondisi Niken hari itu.
Siang harinya saya melihat ambulance yang akan membawa kami ke Surabaya. Saya berkesempatan untuk bertemu langsung dengan sopir dan perawat yang akan mendampingi. Saya berkata pada mereka “Pak & Sus.. tolong dampingi kami besok ya! Bagi kami ini bukan sebuah perjalanan biasa. Ini adalah bagaimana mewujudkan harapan seorang ibu untuk bisa bertemu kembali dengan anaknya yang sudah terpisah selama 6 bulan”
Untungnya setelah itu kondisi Niken membaik dan tetap stabil. Kami juga bisa menikmati momen makan malam bersama terakhir kami di Bandung. Satu hal yang tidak saya lupakan adalah setelah itu Niken melihat saya sambil tersenyum dan berkata “Vid.. besok kita ketemu Gwen”
Tidur di satu ranjang adalah hak eksklusif (atau bisa saya sebut sebuah kemewahan) yang bisa didapat mereka yang sudah menikah. Anggap saja hal ini adalah suatu hal simpel yang menandakan ikatan atau hubungan yang harmonis.
Oleh karena itu jika ada pasangan yang sudah tidak akur lagi, maka yang biasa mereka lakukan adalah tidak lagi tidur satu ranjang alias istilahnya “pisah ranjang”.
Di hari – hari terakhirnya, saya dan Niken juga harus “pisah ranjang”, bukan karena itu adalah kehendak kami, akan tetapi keadaanlah yang membuat kami harus tidur terpisah. Niken berada di ranjang rumah sakit (ranjang single dengan mekanik yang bisa ditegakkan), sedang saya tidur di sofa bed menemaninya.
Di malam terakhir di Bandung ini, Niken sempat berkata kepada saya “Kapan lagi ya kita bisa tidur kembali di satu ranjang? Aku kepingin sandar kepala di bahumu.” Saya yang mendengarnya waktu itu cuma bisa menahan tangis saja, menyadari bahwa untuk hal sesimpel itu ternyata tidak mudah untuk merealisasikannya.
Saya lanjut berkata “Niken, untuk saat ini kita bersyukur saja masih bisa berpegangan tangan. Kita syukuri saja momen ini.”
Jika niatan saya adalah untuk “menikmati momen”, maka menurut saya ilmu Niken lebih tinggi lagi. Dia mengajari saya untuk “menciptakan momen”. Dia balik berkata “Ayo sekarang kamu tidur saja di sebelahku sini”
Jadi akhirnya ranjang single rumah sakit itu kami tempati berdua. Meskipun hanya sebentar saja (karena jika semalaman seperti itu justru tidur kami berdua tidak akan nyenyak), akan tetapi hal itu sudah membuat kami berdua happy.
Jadi teman – teman, jika saat ini Anda bisa tidur satu ranjang dengan pasangan, syukurilah hal tersebut. Banyak orang tidak bisa menikmati kemewahan seperti yang Anda miliki. Ada mereka yang harus tinggal terpisah karena tuntutan pekerjaan, atau seperti kami dimana keadaan mengharuskan kami untuk tidur terpisah.
Apakah keesokan hari kami bisa mewujudkan harapan terakhir (Final Wish) yaitu Niken bertemu kembali dengan Gwen? Saya akan menceritakan kisah lengkapnya pada bagian berikutnya yaitu Our Story Part #8 – The Final Wish.
Sebagai penutup artikel ini akan saya kutipkan tulisan syukur kita berdua yang kami tulis berdua pada malam terakhir kami di Bandung.
David & Niken
Bandung, 25 Agt 2020
Bersyukur hari ini kami bisa melewati hari terakhir di Bandung dengan banyak menikmati dan mensyukuri tiap – tiap momen yang kami miliki. Kami merasakan betapa indahnya momen berdoa bersama, makan bersama demikian juga hening bersama.
Bersyukur hari ini kami bisa bertemu langsung dengan Dokter Hanson untuk berterima kasih atas pelajaran yang didapat selama di HanaRa dan berpamitan dengan Dokter. Terima kasih juga atas pembelajaran dan pemahaman yang telah diberikan untuk bekal kami selama perjalanan ke Surabaya besok. (Notes: pagi hari itu Dokter Hanson sempat berkunjung menjenguk kami di rumah sakit)
Bersyukur atas support dan doa tulus dari teman – teman kepada kami. Kami benar – benar merasa diberkati dan dikasihi oleh cinta kasih tulus tanpa pamrih dari teman – teman.
Bersyukur untuk tenaga medis dan dokter yang cakap dan care dalam membantu pemulihan kondisi Niken. Kami sangat terbantu dan terberkati karena kehadiran mereka.
Bersyukur atas kesempatan belajar dan menjalani kehidupan selama 6 bulan di HanaRa Bandung. Semoga apa yang telah kami dapatkan bisa kami teruskan demi manfaat untuk sesama. Besok kami akan kembali ke Surabaya untuk bertemu kembali dengan anak dan keluarga, semoga Tuhan ijinkan.
Kami, David dan Niken, bersyukur dan berjanji menutup hari ini dengan bahagia bersama – sama.
Berikut adalah daftar artikel “Our Story” yang sudah terbit. Anda bisa klik link di masing – masing judul artikel di bawah ini untuk membacanya: