Walaupun artikel ini sudah saya tulis, tapi saya sarankan lebih baik tidak usah Anda baca. Membaca artikel ini bisa membuat saya malu bahkan kehilangan klien. Jika Anda tetap tega, silahkan lanjut dibaca.
Stop baca di sini saja, jangan dilanjutkan
Saat ini mungkin Anda heran sembari protes “Loo Pak.. kalau artikelnya jangan dibaca, lantas ngapain ditulis dan diterbitkan? Bapak ini bikin bingung orang saja @_@”
Okay.. okay sebelum Anda protes lebih lanjut berikut saya berikan alasannya.
Karena artikel ini mengkisahkan kesalahan besar saya saat presentasi (yang bagi seorang yg profesinya adalah trainer & public speaker) adalah satu hal yang sangat malu – maluin. Saat ini dalam hati saya berdoa semoga tidak ada calon klien yang baca tulisan ini 🙂 .
Dan parahnya kesalahan ini terjadi bukan di awal – awal saya menjalani profesi. Ini kejadiannya fresh banget, baru terjadi kurang dari 1 bulan yang lalu (April 2021).
Saking fatalnya kesalahan ini sampai setelahnya saya langsung merasa stress… di pikiran memang tidak terasa tapi badan tidak bisa bohong. Seharian asam lambung saya naik dan sendawa terus – terusan (satu hal yang sudah lama banget tidak saya alami). Untungnya hal ini hanya berlangsung sehari setelah itu langsung hilang.
Tapi jika seperti itu mengapa kisahnya ditulis?
Supaya Anda bisa belajar dari pengalaman saya. Apa yang saya alami berikut konsekuensinya biarlah saya saja yang mengalami, Anda bisa terhindar dari kesalahan serupa.
Supaya Anda tidak penasaran memangnya apa kesalahan yang saya buat kok bisa sampai sedemikian dramatis, berikut adalah cerita lengkapnya. Enjoy! (dan jika mau tertawa keras – keras juga boleh)
Sekitar 1 bulan yang lalu, saya mendapat permintaan training dari sebuah perusahaan. Mereka berencana mengadakan training komunikasi untuk leader – leadernya. Karena masih dalam situasi pandemi plus lokasi para peserta yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, rencana trainingnya bersifat online (via zoom meeting).
Singkat cerita proposal saya lolos seleksi tahap awal (Horeee…) Saya pun dijadwalkan untuk meeting via online dengan user (bagian yang mengurus pelaksanaan trainingnya). Berdasar pengalaman sebelumnya, jika sudah sampai di tahap ini kemungkinan proposal diterima bisa mendekati 80 – 90%
Dengan bersemangat saya pun berkata “Ok Bu siap, untuk jadwal meetingnya saya bisa. Nanti saya infokan link zoom meeting-nya!” Calon klien pun merespon “Maaf Pak.. bisa tidak kalau meetingnya menggunakan MS Teams, karena di kantor kita software yang dibukakan aksesnya adalah MS Teams”.
Bagi Anda yang tidak tahu apa itu MS Teams (Microsoft Teams), ini adalah software meeting online serupa dengan zoom atau google meet. Beberapa perusahaan memang menggunakan MS Teams ini, salah satunya adalah karena bisa dipakai gratis tanpa batasan waktu (kalau di zoom versi freenya max 40 menit, untuk durasi lebih panjang Anda harus berlangganan versi berbayarnya)
Saya pun langsung mengiyakan “Okay Bu.. tidak ada masalah, siap” Sebelumnya saya pernah menggunakan MS Teams satu kali untuk meeting dengan klien, selebihnya saya selalu menggunakan zoom baik untuk meeting, ngobrol santai ataupun memberi training. Bahkan karena lama tidak saya gunakan software MS Teams sudah saya uninstall.
Setelah saya install kembali, sebagai orang yang penuh persiapan 😎 saya pun coba kembali software ini. Paling tidak tahu saya musti tahu di mana letak tombol dan fitur – fitur esensialnya, misalnya cara on-off microphone / video serta cara share screen.
Kembali, sebagai pribadi yang penuh persiapan 😎 saya sudah hadir 10 menit sebelum jadwal. Sepertinya masih belum ada peserta yang bergabung, saya juga masih berada di ruang tunggu (belum di-admit) untuk masuk ke dalam meeting room.
Jam 4 lebih sedikit, akhirnya saya pun di admit ke meeting room, di sana sudah ada 3 orang peserta (dengan posisi video off semua). Setelah menyalakan video dan microphone, saya pun menyapa dengan penuh semangat “Halo.. selamat sore semuanya. Salam kenal sebelumnya.”
Dan tidak ada reaksi sama sekali.. Krik.. krik.. krik (suara jangkrik).
Wah…mungkin pada nggak dengar nih, jadi saya sapa mereka kembali “Selamat sore semuanya”. Tetap nggak ada jawaban. Saya pun berpikir “Hmm.. mungkin masih pada belum di tempat dan tunggu semua peserta komplit baru mulai”. Jadi akhirnya saya pun ikut menunggu (sambil pasang wajah senyum di depan kamera).
Sekitar 5 menit-pun berlalu… dan masih belum ada tanda – tanda meeting akan dimulai (video peserta lain off jadi saya tidak tahu apakah mereka berada di tempat atau tidak). Akhirnya saya pun berinisiatif mengirimkan pesan via chat.. “Halo apakah meetingnya sudah bisa dimulai, atau masih ada yang perlu ditunggu”
Dan langsung ada balasan “Sudah bisa dimulai Pak.. rasanya speakernya Pak David ke-mute. Kita semua bisa dengar suara Pak David, tapi rasanya Pak David tidak dengar suara kita”
Ooppsss.. 😳 jadi dari tadi mereka sudah siap. Dan selama 5 menit kita cuma diem – dieman aja.
Langsung cepat – cepat saya cek, ternyata setting source suara saya keliru. Setting yang benar seharusnya sumber suara dari speaker laptop tapi tampaknya masih terpilih bekas setting sebelumnya (menggunakan wireless headset). Jadinya suara sama sekali tidak keluar dari laptop saya.
Setelah mengganti setting suara (dan akhirnya bisa mendengar suara peserta lain) maka kalimat pertama yang saya dengar dari mereka adalah “Okay Pak.. silahkan bisa dipresentasikan proposalnya”
Saya pun langsung membuka slide presentasi dan pencet tombol share screen. Seperti biasa di awal saya cross check terlebih dahulu “Bapak Ibu.. apakah bisa melihat slide saya?”.
Dan jawaban yang saya terima adalah “Masih belum Pak, di sini kelihatan item saja”
Hah.. kok bisa nggak kelihatan, padahal di tempat saya semuanya terlihat normal. “Okay Bu, sebentar coba saya ulang lagi ya!” sambil saya stop dan ulangi lagi proses share screen nya. “Nah, sekarang sudah kelihatan kah, slidenya?”
Respon mereka “Tetap belum Pak.. di sini masih kelihatan item saja”
Gambar di bawah ini kira – kira menggambarkan perasaan saya waktu itu.
Ini perasaan saya waktu share screen nya juga gagal (sampai hari ini mengapa share screen saya gagal waktu itu masih tetap merupakan misteri)
Sampai salah seorang peserta yang baik hati berkata dan menawarkan “Saya bantu ya Pak.. kebetulan saya punya file proposalnya Bapak”
Dan akhirnya saya pun dibantu. Klien yang share screen sedangkan saya menarasikan isi presentasinya. Sambil menenangkan diri, saya pun memulai presentasi “Selamat sore Bapak Ibu, saya akan jelaskan program training saya. Saya akan perkenalkan diri dulu. Nama saya adalah David Pranata.. mungkin sudah ada yang kenal atau jumpa saya sebelumnya?”
Dan tidak ada reaksi… hening…sunyi.
Saya pun mengulang kembali “Halo.. halo, mungkin ada yang sudah pernah tahu atau jumpa saya sebelumnya?”
Tetap hening…
Kok aneh ya.. Jangan – jangan? Saya pun cek koneksi internet saya dengan buka browser. Dan inilah yang terpampang di depan layar saya.
Melihat layar ini lebih mengerikan dibanding nonton film horror
Setelah berhasil mengganti koneksi internet dan kembali online saya pun akhirnya memulai presentasi. Tapi kira – kira Anda tahu lah seperti apa kualitas presentasi saya saat itu.
Kacau balau (bahkan di tengah – tengah presentasi saya sempat bertanya pada diri sendiri “Saya ini sedang ngomong apa to?”).
Jika diibaratkan kondisi saya dengan pertandingan tinju, sebelum ronde 1 dimulai saya sudah terpukul jatuh tiga kali (sounds error, gagal share screen dan internet disconnected). Kalau di pertandingan tinju bahkan jatuh 3x itu sudah dinyatakan kalah TKO.
Menurut Anda apakah saya berhasil mendapatkan kontrak training tersebut?
Yang jelas sampai hari ini saya masih belum mendengar kembali kabar dari mereka.
Setelah presentasi pun saya berkata kepada asisten saya, “Surja, rasanya kita nggak bakalan dapat kontrak trainingnya deh” sambil saya ceritakan apa yang terjadi dengan presentasinya. Saya pun menambahkan “Kalau saya jadi calon klien-nya, rasanya nggak bakal pilih trainer itu deh. Pelaksanaan trainingnya nanti bakal secara online, dia sendiri presentasi online kacau balau”
Kira – kira berapa nilai kerugian jika saya tidak berhasil mendapat kontrak karena presentasi yang kacau balau tersebut? Jumlahnya besar dan cukup signifikan. Belasan juta rupiah.
Itulah kisah kegagalan saya. Semua yang ada di atas terjadi persis seperti itu tanpa saya lebih – lebihkan. Jadi apa pelajaran yang bisa dipelajari sehingga Anda tidak mengalami hal yang sama?
Sebelum meeting tersebut yang saya lakukan adalah persiapan / preparation artinya adalah:
Yang kelewatan saya lakukan adalah melakukan simulasi. Hmm.. apa sih bedanya persiapan dan simulasi?
Simulasi adalah melakukan testing dan persiapan yang sedekat mungkin dengan kondisi aslinya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan feedback atas hal – hal yang mungkin tidak terduga.
Dalam kisah saya di atas, melakukan simulasi berarti mencoba software MS teams untuk video / conference call sesungguhnya. Dengan mencoba langsung tentunya saat itu saya akan bisa mendapatkan feedback berupa suara lawan bicara tidak terdengar dan share screen tidak muncul.
Sayangnya hal tersebut tidak saya lakukan, padahal saat itu saya menggunakan software yang saya tidak terlalu terbiasa.
Hal ini mengingatkan ketika dahulu pertama kali saya harus mengadakan training online via zoom. Sebelumnya saya betul – betul melakukan full simulasi. Saya membuat simulasi seperti training room sesungguhnya, dengan melibatkan Surja, Gwen dan beberapa device lainnya.
Kira – kira ini wajah Gwen saat diminta bantu simulasi
Dengan mensimulasikan ada beberapa peserta yang menghadiri training, kita cek dan coba semua fitur yang akan digunakan nantinya. Mulai dari proses admitting peserta, share screen, chat, pembagian ke breakout room, membuat pooling sampai dengan memberi feedback & reaction, semua kita simulasikan.
Bahkan kita juga simulasikan apa yang terjadi jika koneksi internet saya (sebagai host) terputus.
Hasilnya adalah sampai saat ini semua pelaksanaan training via zoom yang saya jalankan bisa berlangsung lancar tanpa kendala.
Melakukan simulasi ini juga sering saya jumpai pada pembicara professional atau mereka yang akan mengikuti speech contest. Sebelum mereka perform, mereka akan sempatkan waktu untuk mencoba stage yang sesungguhnya. Melakukan hal ini akan menghindarkan dari kejutan – kejutan tak terduga yang mungkin muncul.
Itu tadi pembelajaran dari kesalahan yang saya lakukan. Satu pelajaran lagi yang bisa dipetik dari pengalaman tersebut adalah “It’s okay to make mistake”. Saya juga tidak luput dari kesalahan, bahkan di bidang yang saya geluti secara professional.
Yang penting adalah kita bisa belajar dari kesalahan tersebut, memperbaiki diri dan bounce back stronger. Pembelajaran inilah yang juga sering saya tekankan pada Gwen, anak saya. It’s okay to make mistake. Learn from it. Bounce back stronger.
Plus satu hal lagi yang bisa didapat dari kesalahan. Anda jadi punya cerita untuk disampaikan, contohnya adalah artikel blog kali ini. Tambah bersyukur lagi jika dari cerita tersebut bisa memberi manfaat dan menghindarkan orang lain dari kesalahan serupa.
Terima kasih sudah membaca sampai selesai (walaupun di awal sudah diingatkan untuk jangan dibaca 😀 )