Prinsip Resiprokasi – Mengapa Anda Harus Memberi Sebelum Menerima

By David Pranata | Tips Komunikasi

Sep 25

Jikalau seorang teman mengundang anda ke pesta pernikahannya, apakah nanti suatu saat nanti ketika anda sendiri melangsungkan pernikahan, anda merasa berkewajiban untuk mengundangnya?

give

Resiprokasi – Memberilah Sebelum Menerima

Kebanyakan orang akan menjawab “Ya”, mereka merasa berhutang budi sehingga harus melakukan timbal balik. Inilah suatu kondisi dimana prinsip resiprokasi mulai bekerja.

Nah.. resiprokasi sendiri termasuk satu dari sekian banyak fenomena psikologi persuasi yang diutarakan oleh Robert Cialdini dalam bukunya Influence – The Psychology of Persuasion. Prinsip ini berkata bahwa jika anda menerima sesuatu, anda akan merasa berhutang / berkewajiban untuk membalasnya.

Anda bisa simak konten blog ini juga melalui video berikut ini:

Beberapa contoh lain tentang resiprokasi yang mungkin pernah anda alami di kehidupan sehari-hari adalah:

  • Anda menerima bantuan dari seseorang, lain kali ketika dia meminta bantuan, andapun tidak kuasa menolaknya
  • Anda mencicipi sampel gratis makanan dari sebuah kios makanan, setelah itu anda merasa tidak enak jika tidak membeli
  • Tiba-tiba anda mendapat kartu ucapan selamat hari raya dari salah seorang kolega anda, setelah itu anda buru-buru ke toko buku untuk membeli kartu ucapan dan membalasnya

Saya juga ada satu cerita tentang prinsip resiprokasi yang saya alami sendiri, ini dia ceritanya:

Suatu hari saya sedang makan siang bersama dengan istri dan mertua saya di sebuah restoran. Waktu kita sedang makan, tampak di meja lain ada seorang pimpinan universitas yang juga sedang makan bersama keluarganya. Saya pun mempir ke mejanya dan menyapa Bapak pimpinan ini sekaligus menjalin obrolan singkat.

Ketika kembali ke meja saya, mertua-pun bertanya “Siapa itu tadi?”. Saya pun menjelaskan bahwa itu adalah pimpinan sebuah universitas, plus saya tambahkan bahwa sebenarnya dari dulu saya berencana mengajukan proposal pelatihan public speaking untuk dosen dan staff yang ada di universitasnya.

Mendengar cerita saya, mertua saya pun berkomentar singkat “Ohh.. kalau begitu bayarin saja makannya dia”

Saya langsung tertegun mendengar saran ini, dalam hati saya protes “Laa… iya kalau makannya sedikit. Kalau makannya banyak, pilih yang mahal-mahal lagi @#$%!”. 

Akan tetapi (terutama bagi yang sudah menikah) tentunya anda mengerti bahwa hal yang paling sulit dilakukan adalah melawan saran mertua.

Jadi akhirnya dengan hati mengomel saya pun ke kasir untuk membayar makan meja kita dan meja bapak pimpinan perusahaan tersebut (untung ternyata tidak mahal-mahal banget). Setelah membayar saya pun mampir kembali ke meja beliau untuk menyampaikan bahwa tidak usah kuatir akan bill-nya karena sudah saya settle. Dan ternyata dia tidak paham maksud saya @_@

Akhirnya saya pun keluar restoran (dengan bertambah ngomel dalam hati), sudah bayarin.. orang yang dibayarin nggak paham maksudnya lagi.

Waktu sampai di tempat parkir dan mengeluarkan mobil tiba-tiba saya melihat satu orang berlari-lari keluar dari restoran sambil celingak-celinguk seperti mencari-cari seseorang. Di saat krusial inilah saya lewat di depannya, membuka kaca mobil dan kembali menyapa dia 🙂

Dengan nafas tersengal-sengal dia berkata “Waduhh Pak David… ternyata sudah dibayarin to. Terima kasih, terima kasih Pak” (akhirnya baru paham juga dia setelah ke kasir sendiri). Plus setelah itu dia menambahkan “Pak David.. suatu saat pasti saya balas ya”

Nah.. itu dia akhir cerita saya. “Tapi Pak.. apa hubungannya dengan resiprokasi?” 🙂

Haha.. ini dia hubungannya. Bagaimana jika keesokan harinya saya muncul di kantor si Bapak tersebut, tersenyum ramah, berpakaian rapi sambil membawa proposal pelatihan? Kira-kira kemungkinan proposal saya diterima besar atau nggak?

Saya kira tanpa perlu menjelaskan anda sudah tahu jawabannya.

Beberapa Pandangan tentang Resiprokasi

Mungkin setelah membaca uraian saya di atas anda akan berpendapat “Wah.. ini adalah hal yang tidak etis Pak. Bukankah ini seperti tindakan menyuap? yang setiap memberi atau berbuat baik selalu ada maksud lain di baliknya?”

Berikut adalah pandangan saya mengenai hal itu. Resiprokasi termasuk senjata persuasi, sifatnya adalah netral. Orang bisa menggunakannya untuk maksud baik maupun yang tidak baik. Sama seperti pisau dapur, bisa digunakan untuk memasak, bisa juga digunakan untuk merampok.

Dalam konteks lain, prinsip resiprokasi ini juga seperti hukum tabur dan tuai. Sebelum anda merima, anda harus bersedia untuk memberi dahulu. Karena dengan memberi anda akan menerima. Ketika anda memberipun lakukanlah dengan tulus tanpa menuntut bahwa anda harus menerima.

Berikut ada sebuah video yang menggambarkan indahnya proses memberi terlebih dahulu. Silahkan anda cermati video berikut:

Sebagai contoh  lain adalah apa yang saya lakukan di blog ini. Di blog ini saya banyak menulis dan membuat konten yang saya bagikan secara gratis, ini adalah sebuah cara marketing yang saya lakukan. Saya yakin ada di antara anda yang tertarik dan membutuhkan jasa atau produk saya lebih lanjut.

Nah.. akan tetapi apakah saya hanya menulis konten untuk mengharapkan anda berinvestasi di produk saya? Jawabannya adalah tidak.

Untuk semua yang membaca konten dan artikel saya, saya berharap Anda bisa mendapatkan manfaat dari padanya. Sampai kapan pun silahkan Anda baca, nikmati bahkan bagikan konten-konten yang ada di website ini.

Harapan saya adalah dengan tulisan dan konten yang ada akan memampukan Anda menjadi pribadi yang sukses melalui kemampuan presentasi dan komunikasi yang lebih baik. Anda akan mampu untuk “Speak and Express What Matter Most”.

Sharing Yuk

PS: Jika Anda suka atau merasa artikel ini bermanfaat, tolong SHARE melalui tombol Social Media (Facebook, Twitter, Google+ atau Linkedin) yang ada. Terimakasih

Anda juga bisa memberikan komentar atau pertanyaan tentang artikel diatas. Saya akan berusaha membaca setiap komentar dan  menjawab pertanyaan yang masuk.

Notes: Bagi yang penasaran dengan akhir cerita saya, terutama apakah saya akhirnya mengajukan proposal atau tidak, ini dia akhir ceritanya.

Saya tidak jadi mengajukan proposal karena saya mengetahui bahwa universitas tersebut baru saja telah menandatangani kontrak pelatihan serupa dengan lembaga pelatihan lain yang ternyata teman saya sendiri.

Follow

About the Author

Halo, Saya David Pranata seorang trainer dan writer. Harapan saya adalah blog ini mampu menbantu Anda mengkomunikasikan keinginan, kebutuhan dan perasaan dengan jelas dan percaya diri - "Speak & Express What Matter Most"

(2) comments

Add Your Reply