Jika anda membaca tulisan ini karena tertarik apa yang disampaikan oleh judul artikel di atas, maka anda telah terkena fenomena yang disebut social proof 🙂 Apa itu social proof? Mari kita simak bersama-sama.
Social proof termasuk salah satu senjata psikologi persuasi yang sudah pernah saya bahas di artikel sebelumnya. Istilah gampangnya dari social proof ini adalah prinsip ikut-ikutan. Dalam kondisi ketidaktahuan atau kurangnya informasi orang akan mengikuti apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang.
Berikut contohnya:
Bayangkan anda berada di sebuah ruangan mengerjakan test bersama puluhan peserta yang lain. Sedang asyik-asyiknya mengerjakan soal tiba-tiba anda melihat ada asap tipis mulai keluar dari ventilasi yang ada di ruangan. Dalam hati anda bertanya “Apa ini tanda-tanda kebakaran ya?”
Apa yang akan anda lakukan berikutnya?
Apakah anda akan diam saja? lari terbirit-birit meninggalkan ruangan? atau berteriak-teriak “Kebakaran! kebakaran!” dengan panik?
Test serupa dilakukan oleh Bib Latane dan John Darley di tahun 1970, hasilnya adalah anda tidak melakukan ketiga hal di atas. Yang anda lakukan adalah anda melihat dulu ke peserta yang lain:
Simak juga konten lengkap dari artikel ini dalam bentuk video berikut ini:
Itulah jalan pintas yang kita ambil dalam ketidaktahuan atau kurangnya informasi. Kita akan melihat apa yang dilakukan oleh orang lain dan bertindak sesuai dengan apa yang mereka lakukan. Kartun di bawah ini sangat tepat menggambarkan fenomena ini.
Contoh-contoh fenomena lain yang terjadi karena social proof ini adalah:
Bahkan efek social proof ini bisa membuat orang yang semula tidak tertarik untuk membeli sesuatu berakhir membeli sesuatu. Seringkali menjadi berbeda dengan yang lain itu tidak enak, kita ingin mengikuti apa yang dilakukan orang lain. Tidak percaya? Ini dia cerita dari pengalaman pribadi saya.
Suatu hari saya bersama 4 orang teman dari Toastmasters pergi ke luar kota untuk memperkenalkan program ini. Sebelum sesi kami, ada sesi lain yang diisi oleh seorang pembicara dengan topik parenting, atau lebih spesifiknya tentang fathering: bagaimana menjadi ayah yang baik.
Di akhir sesi, pembicara ini juga berjualan buku-nya (juga tentang menjadi ayah yang baik) dan bertanya kepada kita satu persatu apakah kita berminat untuk membeli.
Nah.. anda perlu tahu dulu background saya pada waktu itu, di saat itu saya masih single dan belum menikah (apalagi punya anak). Sehingga di awal sebetulnya saya sudah memutuskan saya tidak membeli buku itu.
Saat itu saya kan masih belum membutuhkannya, lagian jika saya membeli bisa-bisa teman-teman saya yang lain menatap saya dengan pandangan curiga.
Akan tetapi.. apa yang terjadi berikutnya?
Teman saya yang pertama, ketika ditawari berkata “Ya” (maklum dulunya dia mantan baby sitter, tentunya dia suka dengan topik-topik seperti ini)
Teman saya yang kedua juga berkata “Ya” (maklum dia sudah berkeluarga, pasti dia ingin memberi buku itu ke suaminya supaya bisa menjadi ayah yang baik)
Teman saya yang ketiga berkata “Ya”… dan teman saya yang keempat juga berkata “Ya”.
Dan saya adalah yang nomor lima. Melihat semua teman saya membeli, jadi ketika ditawari akhirnya saya berkata “Eeee……… Iya deh, saya beli” @_@
Dalam perjalanan pulang saya komplain kepada mereka “Gara-gara kalian ya.. saya akhirnya beli buku ini”. Dan di situ terungkaplah fenomena yaitu ternyata teman saya yang ketiga dan keempat mengaku membeli karena teman yang pertama dan kedua membeli.
Sedemikian ampuhnya prinsip social proof ini. Dan prinsip ini berlaku universal, aplikasinya sangat luas baik untuk kehidupan sehari-hari maupun dunia marketing & sales.
Berikut saya coba berikan contoh-contohnya dalam berbagi konteks yang ada:
Pernah nggak ketika ada seseorang yang berduka (mungkin di kantor atau di kampus) dan anda membantu dengan memberikan sumbangan? yang biasanya dalam amplop putih terus diedarkan itu lo.
Ingin menaikkan jumlah sumbangannya? Ini caranya….
Sebelum amplopnya diedarkan, isi dulu dengan beberapa lembar uang pecahan besar (Rp 50.000 dan Rp 100.000 🙂 ), setelah itu baru anda edarkan.
Orang yang membukanya pasti berpikir “Wuiihh.. orang-orang sebelumnya nyumbang besar-besar nih” (dan akhirnya mereka pun mengikuti nominal itu). Silahkan anda bandingkan jika di awal amplopnya anda isi dengan uang receh dan pecahan seribu atau dua ribu rupiah.
Saya yakin bedanya pasti seperti bumi dan langit.
Ketika anda menawarkan produk dan jasa anda, jangan lupa menunjukkan testimoni dari mereka yang telah menggunakan produk jasa anda dan berhasil. Efeknya akan bertambah kuat jika testimoni yang calon pelanggan baca memiliki profil serupa dengan mereka.
Ketika membaca mereka akan berpikir “Wah.. ini ada testimoni dari si Jono, dulunya dia juga pengangguran seperti saya sekarang. Jika dia bisa sukses karena beli program ini, tentunya saya juga bisa”
Anda bisa menunjukkan bahwa sudah ada banyak orang telah bergabung dan mengikuti ajakan anda. Jika sudah ada banyak orang yang telah mencoba dan membuktikan hasilnya tentunya produk/jasa ini bagus, hebat, enak, aman, terpercaya (dan segala macam atribut baik yang lain).
Berikut adalah contoh-contoh kalimat yang menggunakan prinsip ini:
Itu dia tadi fenomena psikologi persuasi tentang social proof, yaitu sering dalam ketidaktahuan atau kurangnya informasi kita mengambil jalan pintas dengan mengikuti apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang.
Dalam dunia marketing dan sales prinsip ini sering sekali digunakan. Silahkan mencermati apa yang ada di sekeliling anda, maka anda akan mulai melihat sebuah pola prinsip ini di sana.
Segala Hal yang Perlu Anda Ketahui tentang Cara Mengatasi Grogi Saat Presentasi
Artikel Kontroversial Saya yang Sempat Dilarang Terbit – Silahkan Baca Sebelum Saya Hapus
Prinsip Otoritas – Bagaimana Simbol Kekuasaan Bisa Mengelabui Anda
Likeability – Cara Paling Mudah untuk Membujuk Orang Lain