Sejak lahir sampai dengan SMA, saya tinggal dan dibesarkan di kota Kudus, suatu kota kecil di Jawa Tengah sekitar satu jam perjalanan dari Semarang. Perempatan di depan rumah saya merupakan tempat para abang becak berkumpul.
Jadi kami sekeluarga tidak pernah mengalami kesulitan untuk pergi ke mana-mana. Kami tinggal berjalan kurang lebih 20 langkah, maka para tukang becak yang mangkal di situ sudah siap untuk mengantar kami. Waktu itu dengan hanya Rp 500 s/d Rp 1.000 anda sudah bisa pergi keliling kota Kudus.
Kita sekeluarga juga mengenal baik para abang becak yang ada di sana, setiap kali lewat kita selalu saling menyapa. Rumah kami juga merupakan sumber air bagi para abang becak tersebut ketika mereka butuh air untuk mencuci becaknya.
Sewaktu saya dan dua adik saya sekolah, mulai dari TK sampai dengan kelas 6 SD, kami juga berlangganan becak antar jemput. Saya masih ingat abang becak langganan kami namanya Pak Siran. Setiap hari pukul 6.30 dia selalu siap menunggu di depan rumah, siang ketika jam pulang sekolah dia pun sudah siap di halaman luar sekolah.
Minggu lalu, tgl 14 Oktober 2012, setelah sekian lama saya tidak menginjakkan kaki di kampung halaman, akhirnya saya pulang ke Kudus. Beberapa hal masih tidak berubah, di perempatan depan rumah masih ada beberapa tukang becak yang setia menunggu pelanggan di sana. Beberapa dari mereka adalah wajah-wajah lama yang sudah lebih dari 20 tahun mengayuh becaknya.
Jumlahnya memang tidak sebanyak jaman dahulu. Sepeda motor dan mobil sudah semakin banyak jumlahnya. Banyak juga bangunan-bangunan baru yang jaman dulu tidak ada, banyak hal yang telah berubah dari kota Kudus.
Akan tetapi satu perubahan besar yang juga merupakan alasan waktu itu saya pulang ke Kudus adalah tidak adanya lagi sosok Papi di rumah. Ya.. Papi telah berpulang setelah mengalami kecelakaan pada hari Jumat malam. Kepergian yang begitu mendadak, sulit rasanya membayangkan tidak ada lagi sosok Papi yang dengan gembira merawat aglonema kesayangannya, tidak lagi bisa mendengar suaranya ketika bercanda dengan cucunya. Semuanya serasa berlalu dengan cepat.
Kamis, 18 Oktober 2012 pukul 10 pagi, kami menghadiri proses perabuan yang mengantarkan Papi ke tempat peristirahatan terakhir. Dengan senandung iringan lagu Ave Maria dari para pelayat, betapa terkejutnya saya ketika melihat para abang becak juga ada di situ.
Saya melihat mereka hadir berbaris sambil mengenakan pakaian batik dan celana panjang yang sudah agak lusuh. Mereka ikut mengantarkan Papi ke tempat peristirahatan terakhirnya. Saya juga mendengar mereka berkata “Narik iso saben dino, tapi nganterake iki cuma iso sepisan” – Mengayuh becak bisa tiap hari, tapi mengantarkan (Papi) hanya bisa kali ini saja –
Jadi ketika hari itu anda berjalan di perempatan depan rumah kami, anda mungkin akan heran karena hari itu sepi, tidak ada satupun abang becak di situ. Kemana gerangan perginya si abang becak? Hari itu mereka libur… untuk mengantar Papi ke tempat peristirahatan terakhir.
Dalam hati saya berpikir, tentunya kedua orang tua saya telah menyentuh hidup para abang becak ini. Mungkin hanya sekedar menyapa, mengenal mereka dan memberi mereka air untuk mencuci becak. Akan tetapi hal-hal kecil itulah yang berarti bagi mereka, sehingga mereka merelakan satu hari kerja untuk libur dan mengantar Papi ke tempat peristirahatan terakhir.
Saya pun merefleksikan kehidupan saya “Sudahkah saya menjalani hidup saya, sehingga ketika tiba saatnya nanti, orang-orang kecil yang ada di sekitar saya juga akan berlaku demikian?” Hmm.. tampaknya saya masih harus belajar banyak pada papi.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk mendiang Papi saya, Isnardi Wigiarto, yang telah membimbing dan mendidik sampai saya bisa menjadi pribadi seperti hari ini. Selamat jalan Papi, doa kita semua menyertaimu.