Siapa sih yang tidak ingin menjadi pribadi yang lebih baik? Lebih sehat, lebih disiplin atau lebih sukses. Nah, berikut ini adalah cara bodoh (bahkan tidak perlu berpikir) untuk melakukannya.
Artikel kali ini merupakan review dari buku yang baru saja selesai saya baca, judulnya adalah “Better than Before: Mastering the Habits of Our Everyday Lives” karya Gretchen Rubin. Ini adalah satu buku yang menarik dan aplikatif, total buku sebanyak 388 halaman selesai saya baca hanya dalam 4 hari.
Jadi bagaimana cara menjadi pribadi yang lebih baik? Plus cara bodoh untuk melakukannya? Langsung simak saja reviewnya berikut ini….
Kunci perubahan diri sebenarnya terletak dalam habit / kebiasaan (selanjutnya saya akan menggunakan istilah habit biar lebih pas). Habit adalah perilaku yang Anda lakukan secara otomatis setiap jangka waktu tertentu. Anda tidak lagi harus berpikir atau memaksa diri untuk melakukannya.
Jadi kuncinya adalah terjadi secara otomatis dan tidak perlu berpikir. Contohnya adalah kebiasaan gosok gigi sebelum tidur. Anda secara otomatis melakukannya bukan? Tidak perlu harus berpikir keras memutuskan “Hari ini saya mau gosok gigi atau nggak ya?”
Nah, bayangkan jika Anda bisa membentuk habit tidak hanya tentang gosok gigi akan tetapi di berbagai aspek kehidupan yang ada. Bukankah hidup Anda nantinya akan menjadi lebih baik? Misalkan saja Anda bisa membentuk habit untuk:
Lalu bagaimana caranya membentuk habit? Tahap awal yang bisa Anda lakukan adalah dengan mengenali diri Anda sendiri.
Dalam mengaplikasikan habit, sebenarnya kita memiliki satu dari antara empat tendensi berikut. Hayoo.. kira-kira Anda masuk yang mana?
Haha.. saya sendiri menggolongkan diri saya di obligers. Ketika ada deadline dari luar saya akan sangat berkomitmen untuk mencapainya. Akan tetapi ketika deadline itu berasal dari diri sendiri, maka sering kali saya kesusahan untuk memenuhinya. Haha.. inilah sebab mengapa ketika saya menulis buku atau membuat online course nggak selesai-selesai.
Untuk penjelasan lebih detil tentang empat tipe tersebut, baca bukunya yaa… Sementara ini belum tersedia versi terjemahan bahasa Indonesianya. Untuk yang versi Inggrisnya ada kok di Periplus.
Lalu mengapa sebenarnya kita harus mengenali diri? Mengapa kita harus tahu dari empat tendensi itu kita masuk yang mana? Jawabannya adalah supaya nanti ketika Anda mengaplikasikan 4 pilar habit yang akan saya bahas berikut, Anda akan mengetahui pilar manakah yang lebih efektif untuk Anda.
Berikut adalah empat strategi yang bisa Anda gunakan untuk bisa membangun habit yang sesuai yang Anda inginkan:
Riset menunjukkan bahwa memonitor sesuatu akan membuat Anda lebih mawas diri akan keputusan yang akan Anda lakukan. Misal saja, sekarang ada alat yang disebut pedometer, fungsinya adalah untuk mengukur sudah berapa langkah Anda berjalan. Dengan memonitor jumlah langkah mereka, maka orang akan merasa lebih ingin berjalan lebih banyak lagi (biasanya target 10.000 langkah perhari).
Contoh lain adalah ketika Anda memonitor pengeluaran Anda. Ketika Anda akan berbelanja, Anda akan bisa melihat seberapa banyak pengeluaran yang sudah Anda buat. Hal ini akan membuat Anda lebih bisa mengendalikan diri ketika akan berbelanja.
Saya sendiri melakukan hal ini (memonitor pengeluaran). Saya melakukannya dengan bantuan satu apps Android bernama Andromoney. Yang mau ikut coba, silahkan dicek saja di link berikut. Gratis kok 🙂
Anda bisa memulai habit-habit lain dengan lebih mudah, jikalau di awal Anda berfokus di empat fondasi utama ini terlebih dahulu:
Banyak produktivitas terganggu karena salah satu dari empat fondasi tersebut terganggu. Oleh karena itu bangun habit untuk memperbaiki empat fondasi utama di atas terlebih dahulu, maka Anda akan lebih mudah untuk memulai habit yang lain setelahnya.
Sekarang ini saya juga sedang berfokus ke memperbaiki pola makan dan minum saya. Setelah membaca buku ini saya berkomitmen untuk mengurangi minuman yang banyak mengandung gula, dulunya kopi instan yang sehari tiga kali sekarang hanya satu hari satu kali (itupun yang tidak mengandung gula). Saya juga hanya makan nasi putih di waktu makan siang saja, makan pagi dan makan malam tanpa nasi putih 🙂
Scheduling adalah menjadwalkan waktu di saat yang spesifik dan teratur untuk sebuah aktivitas. Scheduling akan membuat sebuah aktivitas menjadi sebuah habit. Plus, habit akan menjadi lebih kuat dan lebih cepat tertanam jika diulang terus menerus pada waktu yang sama.
Scheduling ini juga menjadi alat ampuh untuk mengatasi sifat sering menunda-nunda. Karena seperti yang kita ketahui, sering kali kita berkata akan berolahraga lebih, makan lebih sehat, bekerja lebih rajin…. BESOK (tidak hari ini).
Karena itulah maka saya sendiri menjadwalkan tiap hari bangun jam 5 (hmm.. kadang-kadang jadi jam 5.30 sih) setelah melakukan ritual pagi, jadwal saya adalah menulis. Target saya adalah 1,000 kata dan selalu seperti itu setiap hari. Jadi saya tidak perlu lagi berpikir “Hmm… pagi ini mau ngapain ya?” Aktivitas ini sudah berjalan secara otomatis.
Accountabilityartinya adalah kita menghadapi konsekuensi akan apa yang kita lakukan – walaupun itu hanya berupa ada orang lain yang mengawasi dan tahu akan apa yang kita lakukan.
Contoh mudah dari accountability ini misalnya Anda berkata pada istri “Mulai hari ini saya akan jogging tiap hari” (dan ternyata besoknya masih mendengkur di tempat tidur). Sebagai accountability partner yang baik tentunya istri Anda dengan sigap membangunkan (atau paling tidak mengomeli Anda).
Jika tendensi Anda adalah seorang obligers, maka accountability ini menjadi sangat penting. Mengapa? karena seorang obligers akan lebih menaati sesuatu jika hal itu berasal dari luar / eksternal.
Selain keempat pilar habit yang ada di atas, di buku ini diberikan juga strategi-strategi untuk mengatasi hambatan ketika kita akan menerapkan habit yang baru. Strategi itu sendiri dibagi menjadi tiga bagian:
Nah.. sekarang mari saya coba untuk urasikan satu persatu ya…
Melihat judulnya mungkin Anda sudah terbingung-bingung ya? Haha.. tenang saja tidak rumit-rumit amat kok. Pada prinsipnya:
Jika Anda ingin menjalankan suatu habit baru maka buatlah hal itu mudah (convenience), sedang jika ada habit yang ingin Anda jauhi maka buatlah hal itu susah untuk dilakukan (inconvenience).
Supaya lebih jelas akan saya berikan contohnya.
Misal saja Anda ingin mengadopsi habit baru yaitu makan makanan yang lebih sehat. Nah, jikalau dalam melakukan ini Anda bertekad semuanya mau dimasak sendiri…. yah jika tekad Anda benar-benar baja maka bisa saja Anda berhasil. Akan tetapi jika Anda melakukannya dengan mulai berlangganan katering sehat, maka probabilitas berhasil akan lebih besar karena hal ini lebih mudah dan nyaman.
Contoh yang lain adalah misalkan Anda mau mengeliminasi kebiasaan belanja mengunakan kartu kredit yang berlebihan. Haha… untuk itu Anda bisa menyimpan kartu kredit Anda di kulkas bagian freezer. Setiap kali mau menggunakannya Anda harus mencairkannya dulu, ribet banget bukan?
Dalam menjalani habit baru, Anda pasti dipenuhi dengan godaan. Misalnya saja ketika Anda berniat tidak lagi makan yang manis-manis, tiba-tiba Anda diundang ke pesta yang penuh dengan kue-kue lezat 🙂
Dalam menghadapi hal ini daripada Anda berusaha keras untuk melawan godaan lebih baik Anda sudah mengantisipasi dan meminimalkan godaan sejak awal. Satu cerita dari Oddyseus di jaman Yunani kuno mungkin cocok untuk menggambarkan hal ini.
Oddyseus harus menyeberangi sebuah lautan yang dipenuhi dengan siren (sejenis peri) yang menyanyi dengan indahnya. Sedemikian indahnya nyanyian tersebut, orang akan tergoda mengikuti asal nyanyian tersebut dan akhirnya akan tewas tergulung ombak di lautan.
Oddyseus mempersiapkan hal ini dengan memerintahkan seluruh crew kapal untuk mengenakan tutup telinga sehingga mereka tidak bisa mendengar nyanyian siren ini. Sedangkan Oddyseus sendiri mengikat dirinya erat-erat pada sebuah tiang besar, sehingga dia bisa mendengar nyanyian siren akan tetapi tidak bisa bergerak mengikuti nyanyian tersebut.
Jadi dalam menerapkan strategi di sini, sadarilah bahwa sebenarnya Anda rentan godaan. Oleh karena itu ciptakanlah suasana dan lingkungan di mana Anda tidak bisa tergoda.
Misalnya saja dalam bekerja Anda sering tergoda untuk melihat social media dan browsing di internet. Nantinya ketika bekerja, pilihlah tempat yang tidak ada koneksi internetnya jadi Anda tidak bisa tergoda lagi. Atau Anda juga bisa menggunakan software berikut untuk memblock komputer Anda ketika mengakses website seperti facebook.
Banyak orang menggunakan reward yang salah dalam menjalankan habitnya. Contohnya adalah “Wah.. seminggu ini saya sudah berhasil diet, berarti hari minggu ini saya bisa makan coklat sebanyak-banyaknya” (Lahh.. percuma donk dietnya).
Seringkali rewards bukan merupakan hal yang efektif untuk menjalankan sebuah habit. Misalnya saja orang yang berkata “Jika aku sudah olahraga rutin seminggu ini maka aku akan menghadiahi diriku makan di restoran mewah itu”. Ada dua alasan mengapa hal ini kurang efektif:
Oleh karena itu temukan hal yang menyenangkan dalam habit yang Anda lakukan, misalnya saja sambil berolah raga ternyata Anda bisa mengobrol asyik dengan teman atau tetangga. Sehingga sebenarnya reward Anda adalah habit itu sendiri.
Cara lain yang efektif adalah dengan melakukan pairing. Pairing adalah menggabungkan satu aktifitas baru ke dalam aktifitas yang selama ini sudah berjalan. Misalnya saja Anda ingin menumbuhkan habit belajar sesuatu yang baru melalui podcast.
Nah, Anda bisa memilih mengintegrasikan habit baru Anda ini ke aktifitas yang sudah Anda jalankan selama ini yaitu berkendara. Hasilnya adalah tiap berkendara sekarang Anda sambil belajar dan mendengarkan podcast.
Sebenarnya masih ada banyak hal dari buku “Better than Before” yang belum bisa tersampaikan dari tulisan saya yang singkat ini. Untuk mendapat manfaat maksimal, saya sarankan Anda untuk membacanya langsung (haha Anda juga bisa berharap suatu saat akan keluar terjemahan Indonesianya).
Dan review buku ini akan saya tutup dengan sebuah ilustrasi yang menggambarkan kekuatan dari sebuah habit. Ini dia ilustrasinya:
Jikalau sekarang Anda memiliki uang Rp 10.000, apakah Anda bisa menyebut diri Anda kaya? (definisi secara kekayaan materi)
Saya yakin Anda akan menjawab “Nggak Pak, boro-boro kaya. Itu sih malah termasuk golongan kurang berada.”
Okay kalau begitu, bagaimana jika sekarang saya tambah Rp 1.000? Apakah sekarang Anda kaya?
“Walah Pak.. kalau cuma Rp 11.000 sih apa bedanya?”
Hmm.. jadi belum kaya ya
Akan tetapi bagaimana jika saya terus menerus menambahkan Rp 1.000 ke tangan Anda? Suatu saat tentu Anda menjadi kaya bukan?
“Hmm… iya sih, kalau ditambah terus-terusan nanti pasti jadi kaya”
Nah, berikut pertanyaan saya: Pada penambahan ke berapakah Anda akan mulai mengubah jawaban Anda dari yang semula “Tidak kaya” menjadi “Kaya”?
Saya yakin Anda juga akan kebingungan bahkan tidak mampu menjawabnya.
Bukan nominal penambahannya yang membuat Anda kaya, akan tetapi habit / kebiasaan terus menerus menambah-lah yang akan membuat Anda kaya. Dan itulah kekuatan sebuah habit.