Daily Inspiration May Week #4

By David Pranata | Inspirasi

May 31

Artikel ini adalah kumpulan tulisan inspirasi yang saya tulis di facebook dan telegram channel saya. Berikut adalah tulisan periode 23 Mei s/d 28 May 2021.

Inspirasi Harian – Kompilasi Mei Minggu #4

Tulisan Usil Saya – 23 Mei 2021

Kemarin saya bawa Gwen bersama dengan teman saya dan anaknya yang berumur sebaya pergi ke Kidzania Surabaya. Bagi yang belum tahu, Kidzania adalah wahana permainan anak & remaja di mana mereka bisa bermain dan belajar mengenai berbagai macam jenis profesi, mulai dari pilot, dokter, arkeolog, polisi, pemadam kebakaran dll.

Kidzania Surabaya

Jadi nanti anak – anak bisa mencoba (atau istilah yang tepat bekerja) di wahana – wahana tersebut. Setelah kerja (sktr 20 menitan) mereka akan mendapat gaji (berupa mata uang sana yaitu kidzos) yang besarnya bisa bervariasi di tiap – tiap profesi. Kadang di wahana tertentu juga bisa dapat souvenir khusus, misal:

  • Waktu jadi barista di Kapal Api bisa dapat tumbler
  • Waktu bikin kue di Fiber Creme bisa dapat hasil kue bikinan mereka (dan satu sachet creamer)

Walau harapan saya untuk bisa dapat obat cacing waktu kerja jadi arkeolog di Combantrin tidak terealisasi, ternyata cuma dapat gaji saja. Yahh.. padahal udah setahunan Gwen tidak minum obat cacing 🙂

Ada juga profesi yang ketika menjalaninya, anak – anak tidak dapat gaji malahan musti bayar (juga dalam kidzos) misalnya saja ketika jadi pilot. Anak teman saya begitu dengar kalau tidak dapat gaji dan musti bayar langsung gak mau dan ngeloyor pergi (Hebat.. teman saya berhasil menanamkan pendidikan kapitalis sejak usia dini).

Jadinya kita musti bujuk – bujuk dia dulu kalau kerja itu juga penting dapat pengalaman, passion, pembelajaran blablabla… (syukurlah akhirnya masih mau dan terbujuk). Dan ternyata Gwen juga sama.. begitu dengar kalau di Kidzania yang gajinya tinggi adalah kerja jadi scientist di Yakult, langsung maunya kerja di sana (ternyata jiwa kapitalis juga sudah tertanam sejak usia dini dalam diri Gwen).

Setelah anak – anak kerja, kerja dan kerja, kita baru sadar kalau tidak tahu uangnya yang sudah terkumpul bisa dibelikan apa. Bertanyalah kita kepada petugasnya di sana, dan ternyata uangnya nanti bisa ditukarkan jadi merchandize. Saat itu hati saya langsung tergerak.. inilah kesempatan yang tepat untuk mengajarkan konsep goal setting sejak usia dini (blink blink blink).

Saya langsung ajak mereka ke outlet merchandizenya sambil berkata (dengan gaya seperti motivator) “Anak -anak kita harus tetapin tujuan bekerja.. coba lihat merchandize yang ada di sini. Tentukan apa yang kalian inginkan! Set Goal! Lihat berapa harganya. Setelah itu rancang strategi. Hitung waktu dan mau kerja apa supaya tujuan kalian tercapai!” (Hebat, benar – benar mulia pembelajaran ini sampai saya terharu dengan diri saya sendiri)

Hanya saja waktu sudah sampai di stand merchandize pembelajarannya berubah. Kidzania benar – benar berhasil mensimulasikan realita dunia nyata ke dalam sistem mereka. Merchandizenya muahall – muahalll, bayangkan saja harga merchandizenya ratusan, beberapa bahkan sampai ribuah kidzos (sedang anak waktu masuk cuma dapat modal 50 kidzos dan tiap kerja paling dapat 10 – 20 kidzos).

Jadi pembelajarannya bukan lagi mengenai goal setting, tapi tentang realita hidup. “Anak – anak walau kalian bekerja keras banting tulang seharian di sini, yang mahal dan bagus di sana tetep aja nggak akan kebeli. Yang bisa kalian beli paling – paling mentok pensil (atau penghapus ini)”

Tapi kerja kan bukan hanya demi gaji dan beli barang saja, setuju? Di Kidzania ini ada sekian banyak wahana profesi yang bisa dicoba dan dieksplore. Teman saya berkata (dengan wajah berbinar penuh pengharapan) bahwa sejak usia dini anak – anak sudah bisa kenal dengan sekian banyak profesi. Siapa tahu dari proses ini mereka bisa menemukan passion mereka.

Jadi betapa terharunya saya ketika menyaksikan Gwen dan temannya terlihat paling passionate (dan menghabiskan waktu paling lama) ketika simulasi kerja di Alfamart. Mereka terlihat begitu antusias bergantian untuk belanja dan jadi kasir Alfamart. Inilah true show of passion!

Anyway.. yang penting mereka happy. Gwen malah berkata kalau pergi ke Kidzania adalah “one of the best moment in her life.” Malah dia menambahkan kalau kapan – kapan nanti mau pergi ke sana lagi. Keinginan Gwen ini membuat saya mengenal realita hidup Kidzania yang kedua:

Orang tua musti kerja keras (buat bayar tiket masuknya) untuk bisa melihat anak – anak bekerja keras. Yang dari hasil kerja keras anak akan membuahkan penghapus dan pensil. Tapi di balik semua itu ini juga adalah proses menemukan passion terpendam yaitu menjadi….. (yah sudahlah)

Pelajaran dari Musik Metal – 24 Mei 2021

Mungkin Anda belum tahu kalau saya itu pecinta musik, dan nggak sembarangan musik, Metal. Yes, saya itu penghobby musik metal. Speed & power metal, heavy metal, trash metal, symphony metal, progressive metal sampai melodic death metal saya suka.

Rhapsody of Fire – salah satu band metal favorit saya

Saya masih ingat dulu waktu masih tinggal di kost – kostan, saya suka banget nyetel metal dengan suara keras – keras. Kalau malam suka nongkrong di depan Delta Plaza tempat yang pada jualan CD dan kaset rock & metal. Pakai baju serba item nonton konsernya Helloween di Tambaksari, Kreator di Kenjeran sampai ngebelain mbolang ke Jakarta demi nonton Dragonforce.

Tentu saja sekarang, karena efek usia (baca: tambah tua) kadarnya sudah nggak seperti dulu lagi. Tapi tetep saja.. saya suka metal, waktu nulis ini pun sambil dengarin lagu metal lewat headset. Dari kesukaan saya terhadap musik metal ada dua hal yang saya pelajari.

(1) Semua itu butuh proses

Biasanya orang yang suka musik metal itu nggak langsung tiba – tiba jatuh cinta pada metal. Coba aja mereka yang biasanya dengerin lagu pop langsung suruh dengerin Children of Bodom yang aliran melodic death metal (nyanyi-nya pakai suara tenggorokan gak jelas). Pasti langsung kolaps, bahkan muntah – muntah.

Biasanya mereka berproses.. awalnya mungkin suka slow rock (kaya Bon Jovi, Firehouse, Scorpion), terus meningkat ke hard rock (Alice Cooper, Deep Purple). Nah, setelah itu mereka bisa mulai diracuni dengan metal yang masih bisa diterima mainstream kaya Helloween atau Metallica🙂

Selanjutnya terserah ke journey nya mereka.. kalau mau dilanjutin sampai yang ke aliran death metal ya monggo, itu keputusan & selera masing – masing.

Tapi intinya semua itu butuh proses, ada journey nya. Nggak bisa langsung. Saya kira banyak hal dalam hidup juga begitu, mulai dari urusan percintaan, karir, sampai menjadi dewasa. Semua butuh proses.

(2) Belajar Toleransi

Suka musik metal membuat saya lebih mengerti kalau tidak semua orang suka dengan apa yang saya suka. Bahkan untuk metal, hal ini menjadi lebih ekstrim lagi, HAMPIR SEMUA ORANG TIDAK SUKA dengan apa yang saya suka.

Dulu waktu masih di kost – kostan, teman saya yang religius sempat protes. Katanya dia bisa melihat setan menari – nari di atap kost tiap kali saya putar lagu metal. Waktu itu saya jawab “Mana.. saya juga pingin lihat!” tapi sampai sekarang nggak pernah ketemu atau ngelihat. Sayang sekali (padahal saya kepingin tahu wujudnya seperti apa).

Sekarang saya jadi lebih mengerti tentang hal toleransi ini. Nggak akan kalau pas di mobil bersama orang lain, saya memutar lagu metal. Kasihan mereka (belum lagi kalau malah muntah di mobil, tambah repot).

Laa.. tapi dulu waktu di kost kok putar lagu metal keras – keras? Iya itu dulu, waktu masih mudah dan butuh aktualisasi diri🙂 Sekarang udah nggak, kalau dengar metal ya pakai headset. Sekali lagi kasihan yang lain. Saya musti hargai mereka yang tidak suka dengan apa yang saya suka.

Itulah 2 hal yang saya pelajari dan dapatkan dibalik kecintaan saya pada musik metal. Kita bisa menikmati keindahan di balik sesuatu yang orang lain cuma anggap orang teriak – teriak sambil gedumbrangan.

Waktu menulis ini saya sambil ditemani lagu “The Legend Goes On” dari Rhapsody of Fire. Kedengaran lyricnya di background

There were eagles flying in the sky
over fields of gold
the kingdom of the magic
reaching for the lands
for the dreams
stories still untold
still… the legend goes on and on

Kalau dipas – pas kan sama kenapa saya nulis.. karena masih banyak “stories still untold”, saya akan coba abadikan itu dalam tulisan supaya “the legend goes on”. Yah kurang lebih begitulah…

Ekspektasi vs Realita – 25 Mei 2021

Akhir pekan ini saya akan kembali memberikan training tatap muka (setelah sekian lama biasanya online via zoom saja), kali ini topik yang akan dibahas adalah tentang pelayanan. Salah satu materinya adalah bagaimana membuat customer merasa puas, atau istilah kerennya customer satisfaction🙂

Ekspektasi vs Realita

Biasanya saya akan menjelaskan jika kepuasan pelanggan itu konsep sederhananya adalah perbedaan antara ekspektasi dan realita. Contoh mudahnya misal Anda janjikan waktu proses 5 hari, dan ternyata selesai cuma 3 hari maka customer bakal happy (dan kalau baru selesai 10 hari mereka akan ngomel).

Dan sebenarnya konsep ekspektasi vs realita ini tidak cuma berlaku di pelayanan saja. Dalam hidup sehari – hari hal inilah yang bisa buat orang marah, sedih, kecewa bahkan sampai dendam kesumat.

Sadarkah Anda bahwa yang membuat kita marah, sedih dan kecewa seringkali bukanlah realita, tapi ekspektasi kita yang berlebihan (terutama pada orang – orang yang dekat dengan kita)? Misalnya saja:

  • Marah pada anak Anda yang nilai ulangannya dapat 95 (harusnya kan 100)
  • Sedih karena pasangan Anda balas WA nya lama (SOP nya kan max 10 menit musti dibales)
  • (dan ini yang banyak) Kecewa pada orang tua karena mereka gak sesuai dengan apa yang Anda harapkan (isi sendiri harapan Anda di sini)

Yang jelas kita punya ekspektasi terhadap orang lain (biasanya orang yang dekat dengan kita), supaya mereka berpikir, bertindak dan bertingkah laku seperti yang kita harapkan. Jika realitanya tidak sesuai (dan terjadi berulang – ulang) maka mulailah semua emosi negatif itu menumpuk… (dan di akhirnya kita nggak happy).

Jadi bagaimana supaya kita bisa lebih happy dan ikhlas dalam hidup?

Mulai kendalikan ekspektasi Anda terhadap orang lain dan kejadian di sekitar. Supaya memudahkan, boleh saya cerita satu hal berikut ya…
Jika Anda mengikuti blog Our Story yang pernah saya tulis, hal ini terjadi di Part #8 The Final Wish (tapi kejadian ini tidak tertulis di sana).

Sebelum kita pulang ke Surabaya, Niken sempat berbicara dengan Ay Ay, teman baik kita selama di Bandung.Berikut adalah isi percakapan mereka (seperti yang diceritakan Ay Ay ke saya): “Ay.. abis ini aku mau balik ke Surabaya. Kalau nanti memang bisa ketemu Gwen, aku ya bersyukur. Tapi kalau memang ternyata nggak bisa, ya nggak papa kok”

Untuk seorang mama yang sudah tidak ketemu anaknya selama 6 bulan, dan harapan terakhirnya cuma bisa ketemu sekali lagi (untuk say goodbye), ini adalah sesuatu yang luar biasa.

Sudah tidak ada lagi ekspektasi, tidak ada lagi ego, bahkan Aku nya sudah hilang. Tanpa Aku.

Inilah hal yang sampai hari ini coba saya teladani dari Niken. Untuk bisa ikhlas sampai sebegitunya.

Kenyataannya bagaimana? Tidak mudah. Kita selalu punya ekspektasi pada orang lain dan kejadian di sekitar. Mereka mustinya kan begini begitu. Nggak bisa begitu donk. Hujan harus cepat berhenti. Kita mencoba bermain jadi Tuhan – “Playing God” semua harus sesuai dengan kehendak kita.

Semoga tulisan sederhana ini bisa membuat kita (sekaligus mengingatkan saya sendiri) untuk selalu bisa menjaga ekspektasi terutama pada orang yang dekat dengan kita.

Mulailah dari yang sederhana.. mungkin kalau ke pasangan dan orang tua agak susah, cobalah ke anak dulu. Cintai mereka apa adanya (walau PR matematika mereka hampir salah semua, tidak seperti harapan Anda yang musti dapat 100).

Kalau merasa tetap susah melakukannya… baca kembali kisah Niken di atas. Semoga cerita sederhana itu bisa membuat Anda lebih mudah ikhlas.

Apa yang Lebih Besar dari 4 x 8 – 26 Mei 2021

Tiap hari saya selalu mendampingi Gwen sekolah (yang sampai sekarang masih secara online). Kita akan duduk satu meja, saling berhadapan, dia sekolah saya bekerja. Jadi kurang lebih saya tahu dan mengikuti perkembangan Gwen dan sekolahnya.

Satu hal yang menjadi kendala Gwen akhir – akhir ini adalah tentang matematika, penjumlahan pengurangan bersusun dan perkalian. Mustinya Gwen bisa, cuma kurang latihan (yang ini salah Daddynya juga, kurang rutin melatih dia) plus kurang teliti.

Ini satu contoh kurang telitinya Gwen: Waktu itu ada PR pengurangan bersusun total 10 nomor. Setelah selesai mengerjakan dia tunjukkan ke saya “Daddy sudah selesai”, waktu saya cek sekilas langsung tahu kalau ada 2 nomor yang… bukan salah lo ya, tapi kelewatan nggak dikerjakan.

Bayangkan… soal 10 nomor, ada 2 kelewatan. Sudah pasti setelah kerja dia nggak cek lagi (Inilah bentuk latihan untuk sabar jadi orang tua).

Terakhir saat ada latihan mencongak di sekolah, dari 15 nomor soal, Gwen salah 5, sedang teman – temannya rata – rata betul semua atau paling mentok salah 2 nomor. Sambil agak mewek dia tanya ke saya “Daddy apa betulan nanti ngomongnya ke Bu Guru & teman – teman itu Gwen salahnya 5 nomor” (mungkin dia berharap dapat diskon jumlah salahnya)

Jawab saya “Iya.. ngomong kalau salahnya 5 nomor. Kan memang salah 5 nomor.” Dan dia pun melakukannya.

Mungkin karena itu juga sekarang tiap mencongak sebelum pulang sekolah jadi momok buat Gwen. Tahu kan mencongak yang kalau yang bisa jawab betul baru boleh pulang. Gwen jadi nggak PD, walaupun sebelumnya sudah latihan dan bisa.

Sampai suatu hari dia betul – betul break down. Gwen ngomong ke saya sambil sudah nangis “Gwen mau leave meeting aja langsung.. nggak mau ikut mencongak. Gwen nggak tahu nanti dapat pertanyaannya yang mana.” Saya jawab “Nggak bisa. Kamu musti hadapi, lagian kalau memang jawabnya salah. Bu Ayunda (guru SDnya) sama teman – teman baik – baik, semua bakal dukung kamu.”

Tetap nggak mempan, nangisnya malah tambah keras. Tetap mau langsung leave meeting, nggak ikut mencongak.

Akhirnya saya ngomong “Kalau memang nggak mau, buka microphone minta ijin dulu sama Bu Ayunda & teman – teman kalau kamu mau leave meeting karena takut. Bagi Daddy, lebih baik Gwen nggak bisa jawab daripada nggak sopan leave begitu aja.” (intinya ini adalah sesuatu yang lebih gak enak dibanding gak bisa jawab)

Saya menambahkan “Jadi pilihannya 2: maju mencongak atau minta ijin leave karena takut. Gwen yang pilih sendiri”

Akhirnya dia pun kembali ke depan laptop, waktu itu saya belum tahu dia bakal pilih yang mana. Tapi persis baru aja sampai di depan laptop, tiba – tiba terdengar suara Bu Ayunda “Gwen… 4 x 8”. Setelah mikir agak lama akhirnya Gwen jawab “32” Dan setelah itu terdengar suara dari Bu Ayunda dan teman – teman “Yeee….. betul. Gwen boleh leave meeting”

Setelah itu saya langsung hug Gwen.

Malamnya sebelum tidur, seperti biasa kita cerita – cerita dulu tentang high and low selama hari itu. Tentu saja saya bahas kejadian mencongak siang itu. Saya jelaskan ke dia “Gwen dalam hidup nanti, kamu akan banyak ketemu masalah dan tantangan yang lebih besar dari mencongak. Kalau mencongak ini saja kamu mundur, bagaimana besok – besok kalau ketemu tantangan yang lebih besar. Karena itu Daddy nggak ngebolehin kamu mundur”

Setelah itu saya ambilkan buku Grit dari rak buku kita… saya tunjukkan ke Gwen “Lihat Gwen, buku ini lo meriset bahwa kalau mau sukses itu butuh kegigihan, semangat tidak pantang menyerah” (padahal sebetulnya saya belum baca bukunya, cuma lihat di judulnya rasanya kok saya rasa begitu🙂).

Buku Grit – The Power of Passion & Perservance

Ini lihat.. KEGIGIHAN kata – kata Bahasa Inggris “Perse… ” ehh “Perseve… ” (aduh gimana sih ini pronouce bahasa Inggrisnya kok susah amat) “Perseverance”, cuma saya nggak tahu akhirnya pronouncenya betul atau nggak.

Jadi itulah pelajaran Gwen hari itu.. sesuatu yang lebih besar dari 4 x8

Aktivitas Bersama Anak – 27 Mei 2021

Tidak dipungkiri di masa pandemi ini kita akhirnya (musti) menghabiskan waktu lebih bersama dengan anak. Laa.. mayoritas waktu kita berada di rumah, anak juga sebagian besar ada di rumah. Mau nggak mau ya ketemu dan bersama terus.

Sehingga bagi saya yang single parent dengan Gwen yang usianya 7 tahun, hal ini menimbulkan satu pertanyaan besar yang terus berulang tiap hari “Musti ngapain hari ini?”

Dan kalau pertanyaan itu tidak dipikirkan dan dijawab dengan tepat.. bisa – bisa kita berakhir menghabiskan sebagian besar waktu di depan televisi. Solusi instan yang mudah (tapi menurut saya kurang tepat ).

Jadi saya coba pikirkan segala macam aktivitas yang sekiranya bisa kita lakukan bersama, mulai dari latihan wushu, jalan pagi keliling kompleks, belajar sulap, menggambar dll. Yah.. sebagian bisa sukses, sebagian cuma berumur sebentar saja. Misal kalau jalan pagi sering Gwen nya mogok gak mau katanya masih ngantuk, kemarin wushu sempat mogok, kalau menggambar saya yang sering menghindar🙂

Intinya adalah banyak aktivitas itu yang berakhir kurang maksimal karena salah satu dari kita tidak benar – benar menyukainya. Dan mulailah usaha saya untuk cari aktivitas yang kita sukai berdua sehingga nanti benar – benar bisa immerse di dalamnya.

Pernah saya coba untuk kenalkan Gwen ke dunia PC gaming🙂 Gamenya saya pilih yang tujuannya kerja sama, koordinasi dan cocok untuk anak (istilah genre ini di dunia gaming adalah couch co-op).

Game pertama yang kita coba adalah Overcooked. Ini adalah game untuk koordinasi masak – memasak. Hasilnya… frustasi berdua. Level – level awal masih ok, begitu masuk stage 2 dan stage 3 adanya kita gagal mulu (disertai dengan saling protes satu sama lain).

Pernah juga coba macam – macam game dari lego the video game. Kita main berdua.. menumpas kejahatan. Hasilnya? Bagi saya game ini terasa terlalu mudah (di game ini kita nggak bisa mati), padahal saya seleranya main game yang tingkat kesulitannya ekstrim (semacam Dark Souls, Bloodbourne). Jadi begitu start main sama Gwen, 5 – 10 menit kemudian saya ngantuk. Ending storynya – saya ketiduran, Gwen main sendiri. Gagal lagi…

Dan proses pencarian terus berlanjut…

Sampai Desember lalu waktu kita ke Bali.. sempat mampir ke Kidz Station dan lihat mainan sale. Diskon 50%. Kata diskon (apalagi diikuti angka besar di belakangnya) memang bisa menggerakkan hati orang. Waktu itu saya lihat ada Gunpla (Gundam Plastic Model) yaitu mainan robot plastik yang dirakit.

Sebelumnya saya nggak pernah tahu dan kenal tentang Gunpla. Tapi karena hati sudah terketuk oleh kata diskon, akhirnya saya tawarkan ke Gwen “Ehh Gwen.. kita coba ini yuk!”. Dan itulah awal kita berdua keracunan Gunpla.

Kita start bareng – bareng, belajar bareng – bareng sampe ke hal – hal yang lumayan detil misalnya saja:

  • Cara potong parts dari runner dan bersihin bekas potong
  • Cara tempel stickernya (mulai dari standard sticker, dry transfer, water decal)
  • Cara buat panel lining (pakai spidol khusus untuk mempertajam detilnya)

Gwen sampai bisa hafal grade – grade Gunpla dan tipe – tipe robotnya. Walau saya sempat berpikir Gwen jadinya kok main robot ya.. tapi waktu saya tanya apa dia mau coba main Barbie, saya malah langsung di-ngambekin.

Intinya rakit Gunpla akhirnya jadi aktivitas kita berdua. Lumayan takes time juga, misalnya kemarin saya video dia untuk pasang 1 sticker water decal butuh 2 menitan, padahal total ada 160 sticker yang musti kepasang.

Beberapa hari lalu dia sempat agak bosan, baru mulai merakit beberapa saat Gwen berkata kalau mau baca buku aja. Jadinya saya berakhir sendiri pasang – pasang. Setelah beberapa kali seperti itu, saya langsung tegaskan “Gwen, Daddy main ini bukan karena kepingin ber-gunpla dan Gwen beraktivitas yang lain. Kalau Gwen udah gak mau, Daddy juga akan stop aja. Kita sampe belain beli bukan karena mainannya, tapi karena ini adalah cara kita untuk spend time together”

Untungnya Gwen berkata kalau dia masih mau dan suka main🙂 Fiuhh.. soalnya waktu bilang Daddy bakal stop aja, betulnya saya pura – pura acting. Habis saya suka, rakit Gunpla terutama waktu pasang decal (stickernya) kaya jadi semacam terapi buat saya.

Jadi itu pengalaman sederhana saya, semoga bisa jadi inspirasi untuk orang tua yang saat ini juga mengalami seperti yang saya alami (bingung cari aktivitas buat anak). Intinya adalah cari aktivitas yang berdua bisa sama – sama suka. Jika yang suka cuma salah satu aja, biasanya tidak berumur panjang.

Hasil karya kita berdua

Fot di atas adalah Gwen beserta hasil karya kita berdua. Ini adalah dari Gundam GP-01B Full Burnern yang Real Grade (RG) – grade yang ukurannya kecil dan rumit. Gunpla ini sekarang terpajang di kamar kita dan jadi simbol usaha kita berdua

Berdaya atau Tidak Berdaya – 28 Mei 2021

Hari ini untuk pertama kali (setelah 1 tahun lebih) saya kembali menginjakkan kaki ke bandara. Sudah lama tidak terbang, sekali terbang langsung ke destinasi yang lumayan jauh – kali ini ke Ambon, Maluku. Keperluaannya apa? Yah apa lagi kalau tidak memberikan training.

Seperti biasa saya akan datang lebih awal di bandara dan sempatkan waktu untuk mampir ke Starbucks Bandara, tempat saya nongkrong menulis tulisan ini plus have my morning coffee. Dulu sedemikian seringnya saya ke sini, sampai baristanya sudah hafal nama dan minuman yang akan saya pesan “Ohh.. Pak David, seperti biasa ristretto bianco Pak?” Saya merasa bisa sampai dihafal barista Starbucks Bandara itu seperti sebuah achievement tersendiri (sayang di di Starbucks Apps nggak ada rewardnya untuk pencapaian itu🙂 )

Starbucks T1 Juanda – 28 Mei 2021 jam 6 pagi

Dunia sudah banyak berubah dalam satu tahun terakhir ini. Ke mana – mana pergi, kita tidak bisa melihat senyum orang lain (kan ketutup masker), yang jadi lebih sering kita lihat adalah tanda “X” yang ditempelkan di kursi – kursi.

Banyak orang berkata bahwa pandemi corona ini benar – benar membuat semua tidak berdaya. Virus satu ini sudah meluluhlantakkan semua aspek kehidupan mulai dari kesehatan, ekonomi, pertemanan bahkan sampai hubungan keluarga.

Akan tetapi benarkah demikian, apakah memang kita tidak berdaya menghadapi corona ini?

Berikut adalah satu perspektif yang saya dapat pencerahannya dari pakar sejarah idola saya yaitu Yuval Noah Harari – pengarang buku Sapiens & Homo Deus.

Sejarah mencatat bahwa bahwa wabah paling mematikan adalah Black Death (penyakit pes) yang terjadi di Eropa sekitar tahun 1300an. Diperkirakan wabah ini menelan korban jiwa sampai dengan 30 – 60% dari populasi warga Eropa. Mayat – mayat sampai bergelimpangan di jalan – jalan karena saking banyaknya korban dan tidak ada lagi tenaga yang bisa mengurus pemakamannya.

Saat itu mereka sama sekali tidak tahu apa yang menyebabkan wabah, apa yang membuatnya menyebar apalagi cara menanganinya. Mereka sama sekali buta. Banyak orang beranggapan bahwa ini adalah suatu bentuk kutukan atau orang sudah kebanyakan bikin dosa. Jadi yang kebanyakan orang lakukan adalah banyak – banyakin untuk berdoa, semoga kutukannya lekas dicabut.

Kalau saat itu disebut mereka tidak berdaya.. bisa dikatakan saya setuju. Lalu bagaimana dengan wabah corona ini?

Saat alarm tentang tentang potensi virus ini muncul (Des 2019), tidak lama kemudian (10 Jan 2022) ilmuwan sudah berhasil mengidentifikasi virus penyebabnya. Setelah itu (dan sampai sekarang masih kita lakukan) pihak otoritas sudah merumuskan cara meminimalkan penyebarannya (mulai dari lock down, protokol kesehatan dll). Cara deteksi virus (rapid test, antigen, PCR) juga langsung bisa ditemukan dan diterapkan.

Dan sekarang para ilmuwan masih berusaha keras untuk menemukan bagaimana menangani wabah ini (mulai dari vaksin, obat dll). Kita berharap semoga cepat ketemu ya! Sambil tidak lupa kita jaga aset kita yang paling berharga dalam menghadapi virus ini.. yaitu sistem imun tubuh kita.

Mengenai dampak yang ditimbulkan oleh pandemi ini pun, banyak contoh yang menunjukkan bagaimana cepatnya kita berimprovisasi dan memanfaatkan perkembangan teknologi. Sekolah bisa dibuat online, jualan juga bisa online.. cuma kalau jasa tukang urut atau potong rambut saya masih belum kepikir bagaimana bisa dionlinekan. Mungkin suatu saat ada alat dan teknologi yang bisa membuatnya terwujud.

Yang jelas belum ternah terjadi dalam sejarah peperangan antara manusia vs pathogen (bakteri, virus) di mana manusia memiliki kekuatan se-powerful ini.

Jadi apakah saat ini kita sebenarnya berdaya atau tidak berdaya? Saya serahkan jawabannya ke Anda untuk menentukan. Tujuan saya menulis tulisan singkat ini adalah untuk Anda (yang saat ini mungkin sudah merasa sumpek, gregetan dan marah) untuk kembali memiliki secercah harapan. Ternyata kita ini berdaya. Hal ini pun akan berlalu. This too shall pass.

Ingin dapat Inspirasi tiap Hari?

Saat Anda ingin mendapatkan tulisan inspirasi ini tiap hari, bisa join langsung di Facebook Page atau telegram channel saya. Berikut adalah linknya:

Facebook Page: https://www.facebook.com/david.fanpage
Telegram Channel: https://t.me/davidpranata80

Follow

About the Author

Halo, Saya David Pranata seorang trainer dan writer. Harapan saya adalah blog ini mampu menbantu Anda mengkomunikasikan keinginan, kebutuhan dan perasaan dengan jelas dan percaya diri - "Speak & Express What Matter Most"